Si kecil minum jamu? Boleh saja sepanjang untuk penyakit ringan. Jika ingin membuatnya sendiri, perhatikan faktor kebersihannya.
Saat harga obat-obatan farmakologi melambung, obat tradisional kembali dilirik. Hanya saja, orang tua kadang ragu untuk memberikannya pada anak. "Apa boleh, ya, anak dikasih obat tradisonal? Kalau boleh, harus bikin sendiri atau beli yang sudah jadi?"
Jawabannya, menurut Prof.Dr. Sudarto Pringgoutomo, Ketua Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T) DKI Jakarta. "Boleh-boleh saja, tapi hanya untuk penyakit ringan." Penyakit ringan itu antara lain flu, batuk, tak nafsu makan. "Jadi, penyakit yang diakibatkan oleh menurunnya daya tahan tubuh."
Pemakaian obat tradisional,lanjutnya, tidak dianjurkan untuk penyakit yang disebabkan superinfeksi kuman tertentu. "Untuk penyakit dengan spesifikasi tertentu, sebaiknya dibawa ke dokter dan memakan obat yang dianjurkan oleh dokter."
Sebagai langkah awal, katanya, anak boleh diberi obat tradisional. Namun jika sampai 2 hari penyakitnya tidak kunjung sembuh, "Segera bawa ke dokter!" pesan Sudarto.
TANPA EFEK SAMPING
Pada umumnya, obat tradisional yang banyak beredar, berasal dari hewani (misalnya dari tanduk rusa) dan nabati (sayuran, buah-buahan, serta umbi-umbian). Khusus untuk balita, biasanya berasal dari nabati. Bahan-bahan tersebut mudah diperoleh, karena banyak terdapat di sekitar kita. Harganya pun relatif terjangkau. Bahkan mungkin bisa diperoleh cuma-cuma.
Bentuknya bisa berupa air rebusan, puyer, jamu, kapsul, tablet, atau tapel (yang ditempelkan ke kulit). Malah bisa juga dijadikan lalapan (sayuran, buah-buahan, umbi-umbian) yang dicampur dalam menu si kecil. "Justru pemanfaatan bahan alami ini sesuai dengan himbauan dari organisasi kesehatan dunia/WHO, yaitu back to nature," terang Prof.H.M. Hembing Wijayakusuma, Ketua Umum Himpunan Pengobat Tradisional dan Akupunktur se-Indonesia/HIPTRI.
Sementara menurut Kepala Direktorat Pengawasan Obat Tradisional Depkes RI, Drs. Ketut Ritiasa, Apt., obat tradisional tidak dibedakan dengan obat "biasa". "Hanya mungkin dosisnya saja yang berbeda." Untuk obat farmasi, katanya, "Ada aturan baku tentang dosis obat. Misalnya, anak usia 1 tahun kira-kira seperempat dosis orang dewasa." Beda dengan obat tradisional yang tak ada patokannya. "Seperti jamu, misalnya, khasiatnya sangat ringan. Efek sampingnya pun jadi ringan." Bahkan menurut Ketut, jamu tak punya efek samping. "Mungkin karena bahan-bahan jamu berasal dari makanan sehari-hari yang sudah biasa kita konsumsi."
Hal ini diperkuat Sudarto pada kesempatan terpisah. Tubuh manusia, katanya, memiliki alat penyaring atau zat anti terhadap serangan dari luar. "Jamu atau obat hanya bersifat mendorong untuk lebih menguatkan pembentukan zat anti itu." Nah, bila tubuh tak bisa menerima jamu, biasanya akan muncul reaksi. "Entah diare, mencret, muntah, panas, atau berkeringat. Jika ini terjadi, jamu harus distop dan segera ke dokter."
Efek samping yang tak diinginkan, kata Hembing, tak akan timbul sepanjang digunakan sesuai petunjuk yang dianjurkan. "Itu sebabnya faktor higienis harus diperhatikan saat membuat obat tradisional."
JANGAN DICAMPUR
Jelas, kan, jamu atau obat tradisonal oke-oke saja untuk si kecil? Tapi seperti dituturkan Hembing, Sudarto, dan Ketut, hindari pemberian jamu bersamaan dengan obat farmasi. "Kalau kombinasinya dengan vitamin, boleh saja. Tapi untuk penyakit panas, misalnya, pilih salah satu saja," saran Sudarto.
Yang boleh dilakukan, jelas Ketut, misalnya memberi obat farmakologi untuk anak panas, sementara tubuh dibalur obat tradisonal. "Kalau kombinasinya seperti itu, boleh. Atau beri jeda waktu 1-2 jam jika ingin mengkombinasikan obat farmakologi dan tradisional."
Perhatikan pula cara pemakaiannya. "Kalau obat farmakologi, kan, jelas aturannya." Yang jelas, lanjut Ketut, khasiat manfaat obat tradisional akan maksimal jika bahan dipetik dan diolah dengan benar. Lokasi dan media tanam juga mempengaruhi kualitas kandungan zat di dalamnya. "Misalnya, kandungan jahe yang ditanam di daerah pegunungan dengan dataran rendah, sangat berbeda. Jadi, ini pun perlu diperhatikan."
Seperti halnya Hembing, Ketut juga menekankan bahwa kita harus benar-benar memperhatikan proses pembuatan obat tradisional. Bahan harus dicuci bersih dengan air matang. "Kalau proses pembuatannya tak bersih, bukan khasiat yang kita dapat, melainkan penyakit."
Ketut juga mengingatkan, jamu yang dibuat dengan tidak memperhatikan faktor kebersihan, akan cepat basi dan berjamur. "Kalau bersih, maksimal jamu bisa tahan 3 hari." Tentu saja jika jamu itu dibuat dari bahan yang masih segar sehingga enzim-enzim yang dikandungnya belum rusak atau menguap. Tentang jamu atau obat tradisonal buatan pabrik, yang harus diperhatikan saat membeli adalah kemasannya. "Pilih yang dilapisi dengan alumunium foil. Soalnya, kalau kemasannya gampang rusak, berbahaya untuk kesehatan."
Indah
KOMENTAR