TabloidNova.com - Menjadi penyelam untuk Badan SAR Nasional adalah soal mental. Demikian kata Yusniar Amara, yang diterjunkan untuk mencari jenazah korban pesawat AirAsia QZ8501.
Perempuan yang disapa Yus oleh keluarga dan teman-temannya ini pada awalnya adalah atlet selam untuk Nanggroe Aceh Darussalam, dan sejak 2002 rutin membantu operasi penyelamatan Basarnas, baik di laut, sungai, maupun di gunung.
Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi guru. Oleh karenanya, selepas bangku kuliah pada 2006, ia melamar pekerjaan untuk menjadi guru, dan juga mengikuti seleksi pegawai negeri sipil untuk Basarnas.
"Dua-duanya diterima, dan karena sudah cinta sekali dengan Basarnas dan menyelam, saya memilih Basarnas," kata Yus kepada Pinta Karana dari BBC Indonesia.
Cita-cita menjadi guru pun tidak sepenuhnya musnah karena ia kini juga sudah menjadi instruktur selam.
"Berbagi ilmu dengan adik-adik, mengawasi adik-adik, saya sangat menikmati," kata Yus yang juga merupakan satu-satunya penyelam wanita yang rutin diterjunkan untuk operasi SAR.
Ia tergabung dalam tim rescue (penyelamatan) Basarnas dan sudah sangat sering dilibatkan dalam berbagai operasi penyelamatan. Operasi pencarian kecelakaan AirAsia QZ8501 ini menjadi misi internasional pertamanya.
"Saya dipanggil dari Banda (Aceh) untuk ke Kalimantan hari Selasa, dan kami masuk lewat Pontianak, kemudian jalan darat, naik mobil 16 jam," kata Yus.
Kamis siang, ia tiba di Teluk Kumai dan langsung naik ke kapal Basarnas, KN Purworejo.
Mental kuat
Yus mengatakan, sejak terjun mencari korban pada pekan lalu, cuaca di lokasi sangat buruk.
"Gelombang tinggi sampai empat meter, arus di bawah sangat kuat, dan zero visibility. Benar-benar tidak tampak sejengkal pun. Kami cuma mengandalkan senter, tetapi itu pun cuma bisa dua meter saja," kata Yus.
Ia mengatakan bahwa cuaca sangat berat. Setiap kali masuk ke air, penyelam langsung diterjang badai.
"Maksimal, kami menyelam di kedalaman 30-40 meter, cuma boleh 18 menit. Jadi, sebelum turun, kami berdoa agar dimudahkan. Sedih kalau kami menyelam tidak dapat jenazah. Kami sudah anggap korban seperti keluarga sendiri," tambahnya.
Ia mengaku, penyelamatan dan pencarian korban bukan tugas mudah.
"Awalnya berat ya karena kita kan lihat muka jenazah. Namun, kita berdoa saja, kita bilang dalam hati ke mereka kalau kita ingin menolong mereka, membawa mereka bertemu keluarga. Memang kuncinya kesiapan dan kekuatan mental," kata dia.
"Kalau mental sudah mantap, sudah kuat, mau situasi apa pun, kita tetap tenang," tambahnya.
Berkali-kali terlibat operasi penyelamatan dan pertolongan bencana, Yus mengatakan, ia justru tidak bisa menolong ketika bencana terjadi pada orang yang ia cintai.
"Tahun 2004, itu tugas saya menjaga Pantai Ulee Lheue, tetapi hari Kamis dua hari sebelum tsunami (26 Desember 2004), tunangan saya di Ulee Lheue suruh saya pulang tengok orangtua, dan balik lagi hari Minggunya. Namun ternyata Sabtunya ada tsunami, dan tunangan saya hilang," kata Yus pelan.
BBC Indonesia/Kompas.com
KOMENTAR