Sama seperti Bang Halilintar, menjelang lulus SMA saya juga meraih Scholastic Award Caltex di mana semua biaya kuliah dibiayai Caltex hingga lulus, dan mendapat undangan kuliah di UI lewat PMDK. Hanya saja saya masuk fakultas Ekonomi. Setelah kuliah di sana, saya bertemu lagi dengan Abang Halilintar. Pertemuan kedua ini lebih berkesan bagi masing-masing. Saya merasa kalimat-kalimat yang diucapkan Bang Halilintar tentang mahalnya sebuah kebenaran cukup mengena di hati.
Meski banyak kajian di kampus yang saya ikuti, pemikiran Bang Halilintar termasuk global, modern, tidak eksklusif, dan cara menyampaikannya juga sangat bagus. Ditambah lagi, Bang Halilintar memang cerdas. Saya langsung merasa bertemu dengan idola dan merasa dia bisa jadi pembimbing hidup. Namun, waktu itu saya belum terpikir dia akan jadi suami. Hanya saja, saya memang jadi pelanggan salon, minimarket, dan klinik giginya.
Rupanya, Bang Halilintar juga terkesan pada saya ketika kami mengobrol di kantinnya. Tiga bulan kemudian, sepulang Bang Halilintar dari Malaysia untuk berdagang dan berwisata ke Uzbekistan, dia melamar saya. Bagai mendapat durian runtuh, saya langsung mengiyakan. Saya tak menyangka, orang yang selama ini jadi idola tiba-tiba melamar saya untuk jadi pendamping hidupnya.
Justru sebaliknya, hal itu jadi cemeti bagi kami untuk menyelesaikan kuliah. Akhirnya, orangtua kami merestui dan pada Januari 1993 kami menikah di Masjid Pondok Indah, Jakarta. Mahar yang saya minta adalah seperangkat alat salat dan membaca surat Al Ikhlas tiga kali. Saat itu, usia saya 20 tahun dan Bang Halilintar 24 tahun. Setelah menikah, Bang Halilintar mengajak saya ikut dalam perjalanan-perjalanan bisnisnya ke berbagai kota dan ke Malaysia.
Setuju 13 Anak
Kami membawa barang dari masing-masing kota. Jadi, mobil van yang kami sewa tak pernah kosong. Bang Halilintar memang mengajarkan pada saya, juga kelak pada anak-anak, jika ada barang bagus, kalau bisa kita jadi produsennya, bukan menjadi penikmatnya. Nah, dua tahun setelah menikah, saya hamil anak pertama, Muhammad Atta Halilintar.
Sebetulnya, saat awal menikah, Bang Halilintar sudah mengutarakan keinginannya untuk memiliki 13 anak. Saya sendiri setuju karena alasannya masuk akal buat saya. Selain mengikuti Nabi Muhammad yang memiliki banyak anak, Bang Halilintar memang menyukai dan sayang pada anak-anak. Dan itu ia buktikan hingga sekarang.
Setelah usia kehamilan beberapa bulan, saya cuti kuliah satu semester dan ikut Bang Halilintar berdagang lewat jalan darat Jakarta-Lampung-Palembang-Jambi-Pekanbaru-Dumai, lalu disambung dengan kapal feri dari Dumai-Malaka-Kuala Lumpur dan kembali lagi ke Jakarta. Saat hamil tua, kami sudah tiba kembali di Dumai. Kelahiran Atta dibantu oleh bidan yang dulu membantu kelahiran Bang Halilintar.
Setelah Atta lahir, ia kami ajak berkeliling ke berbagai belahan negara. Alhamdulillah, usaha kami makin maju, sehingga ekspansi dan diversifikasi bisnis bisa dilakukan sampai ke berbagai benua. Sambil berdagang, kami sekaligus berwisata dan berpetualang mengenal budaya negara lain. Proses pembelajaran secara langsung dalam mendidik dan memberikan contoh seperti inilah yang mungkin lebih berkesan bagi Atta dan melekat dalam hati dan pikirannya.
(BERSAMBUNG)
Hasuna Daylailatu
Foto & Repro Dok. Pribadi: Romy Palar/Nova
Nomor depan: Setelah anak kedua lahir sebelum wisuda, Geni melahirkan anak-anak berikutnya hingga total berjumlah 11. Semua lahir secara normal dan mendapat ASI eksklusif. Semua itu tak membuat Geni berhenti mendampingi suaminya berkeliling dunia untuk berbisnis. Bahkan, semua anak mereka ajak serta. Tak heran, selain mahir berbahasa Inggris, anak-anak Geni dan Halilintar yang mandiri juga mengikuti jejak orangtuanya berbisnis sejak dini.
KOMENTAR