Setiap bulan puasa tiba, ada suasana yang berbeda di Kampung Cinyosok, Sukabumi (Jabar). Penduduk sibuk merebus buah aren dalam tong besar, mengupas, dan mencuci kolang kaling. Ada pula yang bertugas memipihkan kolang kaling, sebelum direndam selama 5-7 hari. "Barulah kolang kaling siap dijual," tutur Ajang (65), salah satu pembuat kolang kaling yang sudah berpengalaman. Tiap hari, ia memang berprofesi sebagai penjual kolang kaling. "Tapi bulan Ramadan seperti ini, permintaan banyak sekali. Jadi, warga lain juga ikut bikin."
Tiap bulan puasa, katanya, ia bisa mempekerjakan enam karyawan. "Hari-hari, biasa, sih, saya cuma dibantu istri dan seorang karyawan karena permintaan tidak banyak." Untuk pekerjaan mengupas buah aren sampai mendapatkan kolang kalingnya, Ajang memberi upah Rp 25 ribu per hari. "Kalau yang bagian menggepengkan, bayarannya Rp 200 per ranting kecil. Per orang bisa dapat Rp 10 ribu per hari." Karena permintaan yang tinggi itu pula, buah aren di kampungnya tak mencukupi sehingga ia harus membeli dari Garut dan Tasikmalaya.
Kolang kaling yang siap dijual, dibawa Ajang ke pasar. Harganya Rp 8 ribu per kg. "Kalau hari biasa, paling Rp 5 ribu. Pas bulan puasa begini, saya bisa jual minimal 10 kg tiap hari," kata bapak tiga anak yang sudah sejak tahun 1979 berjualan kolang kaling. "Dulu, sih, beli dari orang, terus saya jual keluar-masuk kampung. Belakangan, baru jualan di pasar." Pelanggan Ajang sehari-hari adalah pedagang manisan dan sekoteng.
Pembuat sekaligus penjual lainnya adalah pasangan Solihat (40)- Kusnadi alias Engkus). Mereka mulai berjualan tahun 1984. Selain berjualan di pasar, Engkus juga sudah punya empat pembeli tetap. "Mereka mengambil ke sini lalu dijual sampai ke Pasar Minggu, Jakarta. Saking larisnya kolang kaling di bulan puasa, keuntungan Engkus bisa naik dua kali lipat. "Biasanya sebulan dapat untung Rp 2 juta," tutur Solihat.
Henry Ismono
KOMENTAR