Dulu, ibu mertuaku pernah mengingatkan, "Jangan sampai bikin Teguh marah. Kalau sudah marah, dia akan seperti bapaknya, melakukan kekerasan. Kamu enggak mau, kan, mati dibunuh? Nanti bisa terjadi pertumpahan darah." Teguh Prasetya (40), suamiku, semasa kecilnya sering dipukul dengan sabuk oleh ayahnya.
Kini ucapan mertuaku benar-benar kualami sampai harus dirawat di RS. Kepalaku luar biasa pening, kedua lengan memar, punggung dan perut sakit. Leherku harus memakai penyangga karena sakit.
Semua itu akibat dipukuli Teguh secara bertubi-tubi beberapa hari sebelumnya. Aku sendiri tidak tahu, mengapa perilakunya berubah amat drastis sejak Januari lalu. Dia jadi sering memukuliku dan mengucapkan kata-kata kasar serta kotor. Aku dituduh selingkuh dan tak becus mengurus anak. Sungguh, aku bingung!
Seperti Terobsesi
Yang jelas, suatu Sabtu, Januari silam, kutemukan SMS bernada mesra layaknya orang pacaran dari seorang perempuan di ponselnya. Beberapa saat kemudian ketika aku cari lagi, pesan itu sudah ia hapus. Waktu kutanya siapa perempuan itu, ia marah.
Aku mengajaknya bertemu bertiga dengan perempuan itu, kalau memang mereka tak ada hubungan apa-apa. Itulah awal suamiku memukuliku. Ia mengunci kamar supaya aku tak bisa keluar, lalu mulai memukuliku bertubi-tubi sampai aku terjatuh dan terbentur ujung meja komputer. Aku lari ke atas tempat tidur, tapi dia mengejar, menindih, lalu mencekik leherku. Ketika ada kesempatan melepaskan diri, aku lari ke luar kamar.
Juni lalu, pemukulan kembali terjadi. Waktu itu, aku mau mengajak anak-anak jalan-jalan. Teguh menghalangi mobilku dengan mobilnya, lalu menarik anak-anak masuk ke mobilnya. Waktu aku mau ikut, ia mendorongku sampai aku terjatuh ke parit depan rumah.
Memang, sejak pacaran dulu, aku sebetulnya sudah tahu sifatnya yang keras. Kala menikah tahun 2000, sifat itu tak juga berkurang. Malah dia semakin mendominasi sejak anak-anak kami, Farhan (8), Putri (6) dan Jovan (4), lahir. Aku tak diberi hak untuk ikut menentukan hal-hal yang berkaitan dengan anak. Misalnya, soal sekolah, harus sesuai keinginan Teguh. Bahkan saat Putri menolak masuk SD pilihan ayahnya, tak digubris.
Suamiku memang keras dan terlalu disiplin mendidik anak. Kalau menemani belajar, ia bisa memaksa mereka belajar sampai tengah malam atau pukul 04.00 anak-anak dibangunkan, disuruh belajar lagi. Kalau tak mau bangun pagi hari, mereka diguyur air.
Entahlah, ia seperti terobsesi, anak-anak harus sepintar dia. Makanya anak-anak diikutkan bermacam-macam kursus. Hampir setiap hari. Aku katakan pada suamiku, jangan terlalu memforsir anak-anak dalam hal belajar. Meski sudah kuingatkan untuk tak terlalu memaksakan kehendaknya pada anak-anak, ia tak mau kompromi. Anak-anak pun mengeluh kelelahan karena harus terus belajar ini-itu. (Bersambung)
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR