Sudah sejak sebulan lalu aku melihat ada yang sesuatu yang aneh dengan putera keduaku ini. Wajahnya yang selalu riang, tampan, dan putih bersih, berubah menjadi pendiam dan hitam legam. Itu kusadari saat ia bersama istri, Saparsih Try Ratna (38), dan puterinya, Susan Angelina (5) main ke rumahku sebulan yang lalu. Saat itu terang-terangan kutanya, mengapa wajahnya begitu hitam, tapi ia hanya membalasku dengan senyuman. Aku dan suami yang tidak puas dengan jawabannya hanya mampu berpandangan.
Hari berlalu dan raut wajah Evert belum juga berubah. Malah semakin hari aku semakin tidak mengenalinya. Evert yang kulihat bukan seperti Evert anakku. Banyak keganjalan yang aku dan istrinya rasakan saat kami menghabiskan waktu bersamanya.
Nasi Basi
Suatu pagi di hari Senin, aku kaget sekali mendapati nasi yang baru saja kumasak basi. Dalam hitungan detik, perasaanku menjadi sangat kacau. Aku bertanya-tanya, ada apa ini. Apakah ini ada hubungannya dengan Evert? Apakah aku akan kehilangan anakku lagi setelah aku kehilangan puteri pertama (Novi) dan putera bungsuku (Dave)? Saat itu juga aku berdoa kepada Tuhan. Ya Tuhan, tolong aku. Kalau memang ini sesuatu yang baik bagiku dan anakku, aku akan menerimanya dengan lapang dada.
Sesaat kekhawatiranku menghilang mengingat Sabtunya kami akan menghabiskan hari itu bersama di Puncak. Namun sebelum berangkat aku mendapat kabar dari Ratna kalau ia tidak akan ikut. Evert yang melarangnya pergi tanpa alasan yang jelas. Aku bertanya kepada Evert, apakah karena Ratna sedang hamil 9 bulan, makanya ia tidak diperbolehkannya ikut. Tapi ia menjawabku juga dengan diam dan wajah kebingungan.
Pulangnya, Evert dan Angel mampir ke rumahku untuk makan bersama. Selesai makan, putera keduaku itu juga lebih banyak diam. Ia sama sekali tidak menghiraukan ajakan Angel untuk menemaninya bermain dan lebih memilih duduk diam di atas anak tangga yang terdapat di ruang tengah rumahku sambil memerhatikan puterinya. Setelah beberapa saat, dengan gerakan cepat, ia kemudian menggendong Angel naik ke lantai atas dan mengajaknya bermain bola di sana. Mereka bermain bola lama sekali. Gelagatnya sangat membingungkanku.
Beberapa minggu yang lalu, ketika aku baru pulang dari rumah sakit, Evert berkesempatan membersihkan rumahku. Ia menyapu, mengepel lantai, merapikan tempat tidurku, dan mencuci piring. Pokoknya, tidak ada bagian rumah yang ditinggalkannya dalam keadaan kotor. Namun selesai bekerja, ia hanya duduk dan terdiam (lagi). Aku yang mulai sewot dengan perubahan karakternya memberanikan diri bertanya. "Eh, kenapa kamu jadi anak diam saja, sih? Mau jadi anak bisu kamu? Anak kedua kamu, kan, sudah mau lahir, gembira sedikit, dong." Evert hanya tertawa. Aku juga sempat menganjurkan dia untuk mengoleskan pelembab ke wajahnya agar kembali putih dan cerah.
Ester Sondang
KOMENTAR