"Jangan pernah kecil hati! Tuhan itu Maha Besar. Sepanjang mau berusaha, pasti ada jalan meski hidup dalam dunia yang penuh keterbatasan." Kalimat itu dilontarkan Peni Susilowati (43) dengan nada tegas. Sarjana Hukum lulusan Unair ini memang tak sekadar bicara, tapi sudah membuktikannya.
Tumbuh sebagai perempuan aktif, Peni sempat bekerja sebagai sekretaris lalu menjadi karyawan di sejumlah bank, sebelum akhirnya menangani masalah hukum di kantor pengembang ternama, di Surabaya.
Sekitar tahun 1992, saat tengah meniti karier, ada sesuatu yang tak beres mengenai matanya. "Pandangan agak kabur, ibarat melihat dari balik plastik. Mata juga jadi merah tapi nanti sembuh sendiri." Dokter, kata Peni, hanya mengatakan, ia terkena iritasi atau ukuran kacamatanya sudah tak pas lagi.
Mendadak Buta
Baru setahun kemudian, saat hamil anak pertama, Rizki Aditya (16), penyakitnya terkuak. "Entah kenapa, dokter matanya langsung menangis usai memeriksa saya. Mungkin karena dokter perempuan itu tak bisa menahan emosinya. Katanya, saya mengidap glukoma yang kelak berujung pada kebutaan."
Begitulah. Ketika Peni mengejan menjelang bayi keluar, syaraf mata sebelah kirinya tertarik. Akibatnya, mata kiri Peni mendadak buta. "Cuma, mungkin karena saking bahagianya, saya baru sadar mata tidak berfungsi lagi beberapa jam kemudian," urainya.
Proses persalinan itu, katanya, agak disesalinya. "Soalnya, dokter mata lupa bilang, penderita glukoma dilarang melahirkan secara normal. Tapi, sudahlah, untuk apa disesali yang sudah terjadi."
Dokter pun berusaha keras mempertahankan mata kanan Peni. Mengingat jantung Peni lemah, dokter menyarankan operasi dengan laser ketimbang menggunakan obat-obatan. "Sayangnya, meski sudah di-laser, tetap tak berhasil. Mata kanan saya makin lama makin redup." Apalagi, obat tetes mata yang selama ini digunakannya secara terus-menerus, menimbulkan katarak di bola matanya.
Biji Mata Nyaris Diangkat
Akibat melemahnya penglihatan Peni, ia terpaksa harus keluar dari pekerjaannya. "Saya sudah kesulitan membaca huruf yang kecil-kecil. Padahal, pekerjaan saya sangat vital, di antaranya membuat akta perjanjian yang memerlukan ketelitian." Padahal, lanjut Peni, pimpinan perusahaan berusaha mempertahankan dirinya.
Yang mengherankan, meski sudah cacat, tak satu pun teman sekantornya, termasuk pimpinannya, tahu. "Mereka meledek saya, kok, sekarang cara berjalannya jadi seperti ndoro putri, pelan-pelan. Padahal dulu saya terkenal energik. Mereka tidak tahu penglihatan saya sudah tidak awas."
Peni mengaku, sengaja tak pernah curhat soal penyakitnya. "Nanti malah dikasihani. Padahal, kalau dikasihani, justru melemahkan mental saya," kata Peni yang kemudian mencari kesibukan di rumah dengan membuka usaha desain interior kecil-kecilan. "Akhirnya berhenti karena mata saya makin parah."
Tak cuma itu, dokter juga menyarankan bola mata kanannya diganti dengan yang imitasi. Artinya, bola mata kanan Peni harus diangkat. "Saya hanya bisa berdoa, mudah-mudahan itu tak usah terjadi."
Gandhi Wasono
KOMENTAR