Bukan hanya mengiba-iba. Setahuku suamiku juga mengalami stroke, tangan sebelah kirinya tak bisa bergerak lagi. Walau masih sebal pada suami tapi nuraniku berkata lain. Walau bagaimanapun dia tetap masih suamiku. Apalagi kalau setiap aku menjenguknya dia sudah seperti orang yang tak punya harga diri lagi.
Akhirnya setelah melalui beberapa pertimbangan, aku minta polisi agar suamiku dikeluarkan dari tahanan akhir 2007. Untuk memaafkan kesalahannya, dibuat surat perjanjian yang disaksikan keluarga besarnya, keluargaku dan pihak LBH APIK. Bahkan dengan mengunakan materai. Salah satu point dari kesepakatan itu, yakni dia tak boleh lagi menelantarkan aku.
Setelah surat perjanjian itu ditandatangani oleh kami semua. Aku dan suami mulai tinggal bersama lagi. Bahkan, suamiku juga mengajak keempat anaknya untuk tinggal bersama kami. Namun, karena dua anaknya sudah dewasa, jadi hanya dua anak saja yang aku asuh. Hatiku mulai tenang dan aku rasanya bisa hidup normal lagi. Sehari-hari suami selalu memberiku nafkah.
Namun, ternyata tak lama berselang ketenanganku kembali terusik. Suamiku melanggar perjanjiannya dulu. Sejak November 2008 dia kembali meninggalkan rumah, meninggalkanku dan dua anaknya. Memang, aku yang bodoh! Kenapa sampai bisa memaafkan dia hingga akhirnya dia keluar dari tahanan. Sekarang beginilah jadinya...
Ketika aku cek ke tempatnya kerja, teman-temannya bilang dia tak kerja lagi di situ. Untuk membiayai hidup sehari-hari aku harus kerja menjadi buruh cuci. Namun, karena uang yang kudapat tak sebanyak saat suamiku masih ada, sebulan lalu Fadila meninggalkan rumah.
Untuk menyambung hidupku dan seorang anak tiriku, aku pontang-panting mencari kerja kesana kemari. Saat ini aku nyambi kerja di restoran vegetarian. Tapi, kalau dihitung-hitung dengan gaji Rp 500 ribu sebulan manalah cukup, apalagi jika dipotong untuk ongkos Rp 250 ribu. Karena terus memikiri nasibku, kadang saat bekerja aku sering melamun. Keinginanku saat ini, mengakhiri pernikahan. Aku tak akan lagi memaksa suami untuk kembali padaku. Beban hidup ini akan kutanggung sendiri, termasuk utang suamiku berupa uang mahar waktu kami menikah dulu, Rp 5 juta. Walaupun aku sebetulnya tak ikhlas.
Berharap Berubah
Direktur LBH Apik Medan, Hj. Cut Bietty SH mengaku para istri yang melaporkan suaminya ke polisi karena kasus KDRT mungkin itulah jalan akhir satu-satunya. "Tapi sebenarnya sang istri tak tega juga kalau suaminya ditahan. Buktinya seperti kasus Santi dia masih kasihan melihat suaminya ditahan. Walau sudah babak belur sekalipun."
Tujuan melaporkan ke polisi, lanjut Cut, agar ada efek jera buat suami. Tapi, itu pun sebenarnya bukan untuk mengakhiri suatu perkawinan.
Saat ini sudah terjadi pergeseran zaman. "Para istri sekarang sudah sadar hukum. Mereka tahu haknya. Semua ini harus diubah. Mereka sudah tahu kalau diperlakukan suami seperti itu akan ada ranah hukum yang bicara. Kalau dulu, jika para istri melaporkan kekerasan suaminya pada polisi. Polisi akan menyuruh sang istri pulang saja, sebab, tak baik melaporkan suami hanya karena kekerasan yang terjadi. Kalau sekarang sejak dikeluarkannya UU No 23 tentang KDRT, polisi sudah siap 24 jam untuk menanganinya."
Menurut Cut, tujuan undang-undang KDRT yakni mewujudkan rumah tangga yang harmonis dan sakinah. "Jadi setelah disidang sang suami bisa berubah."
Debbi Safinaz
KOMENTAR