Dari sekian lauk yang tersedia, semur jengkol adalah yang terfavorit. "Tidak jarang orang tidak jadi beli, karena jengkolnya sudah habis," kata si empunya, pria yang biasa disapa Bang Udin, sambil tertawa.
Menurut Bang Udin, menjadi pedagang nasi uduk Betawi merupakan pekerjaan turun temurun. Resep yang kini digunakan berasal dari kakek dan neneknya. Untuk menjaga cita rasa nasi uduknya, Bang Udin selalu mengawasi sendiri proses memasak setiap pagi.
Rahasia keistimewaan masakannya, kata Bang Udin, terletak pada bumbu dan rempah-rempah hasil olahannya sendiri. Untuk urusan ini, pria yang memulai usaha nasi uduk sejak tahun 1988 mengaku tak pernah pelit dengan bumbu. Ia juga sangat anti penyedap rasa.
Selain rasa nasi uduknya yang enak, jajan di warung Bang Udin terhitung murah. Segala macam lauk dihargai Rp 2 ribu-Rp 4 ribu, kecuali empal Rp 12 ribu per potong. Sementara sepiring nasi uduk hangat seharga Rp 4 ribu. Sedangkan sambal bawang, lalapan dan emping goreng bisa diambil cuma-cuma.
Setiap hari, Bang Udin menghabiskan 40-45 liter beras. Padahal, saat pertama kali membuka warung Bang Udin hanya perlu menanak 3-5 liter beras. Untungnya pula, kediaman Bang Udin cuma sepelemparan batu dari warung tendanya. Sehingga setiap kali baskom lauk atau nasi ludes, dapat segera diisi penuh dengan gantinya yang masih panas mengepul.
Untuk dagangan yang digelar setiap pukul 17.00 hingga 22.00, Bang Udin sudah harus bangun untuk berbelanja pada jam 03.30 pagi. Bahan-bahan segar didapatkannya dari tiga pasar tradisional berbeda yang terdapat di kawasan Palmerah. Untuk kegiatan belanja ini Bang Udin merogoh kocek sebanyak Rp 1 juta. Namun setiap hari ia dan keluarganya mampu meraup keuntungan bersih hingga Rp 3 juta.
Ajeng
KOMENTAR