Bahagia sekali rasanya bisa hamil lagi setelah anak sulung kami, Jason, berumur 10 tahun. Apalagi, Jason sudah lama ingin punya adik. Bulan ketiga kehamilan, kami mendapat kejutan manis lagi. Dari hasil USG diketahui, aku mengandung bayi kembar. Dari garis nenekku memang ada keturunan kembar. Setiap bulan aku rutin periksa ke spesialis kandungan, dr. Antonius. katanya, si kembar baik-baik saja.
Secara tak terduga, 26 Mei 2008, janin yang baru berusia 33 minggu, lahir prematur meski secara normal. Yang pertama lahir adalah Jared Christophel (1,5 kg) disusul 20 menit kemudian Jayden (1,3 kg). Dr. Antonius yang menolong persalinanku berujar, si kembar lahir sehat tapi berhubung prematur, keduanya harus masuk inkubator.
Seminar Ke Luar Negeri
Selama di RS, si kembar dirawat dokter anak berinisial F. Aku ingat, tanggal 27 Mei 2008 dokter itu bilang, Jayden mengalamai masalah dengan paru-parunya sehingga harus diberi suntikan Surfactan (serum). Sementara Jared tak ada masalah. Dokter lantas berkonsentrasi merawat dan mengobati paru-paru Jayden tanpa melakukan pemeriksaan terhadap bagian tubuh lainnya.
Masih terngiang di telinga, dr. F sempat berujar, biasanya bayi yang lahir prematur akan ada masalah dengan matanya. Itu sebabnya berkali-kali aku minta pihak RS dan dr. F agar anakku mendapat perawatan satu tim dokter spesialis. Termasuk dokter mata. Soal biaya, kami tidak keberatan.
Anehnya, RS tidak merespon permohonanku. Jayden dan Jared tetap hanya ditangani satu dokter spesialis anak. Dalih mereka, dokter mata yang mereka miliki sedang seminar ke luar negeri, tanpa memberi pilihan padaku. Permintaanku agar mendatangkan spesialis mata dari luar, tak dipenuhi.
Setelah 42 hari dirawat, dr.F mengizinkan Jared dan Jayden dibawa pulang. Aku tetap merasa kecewa pada pelayanan RS yang tak menyiapkan tim dokter sesuai permintaanku.
Divonis Buta
Seperti disambar geledek saat mendengar kabar menyedihkan itu. Seharusnya, hari itu (1 Agustus 2008), menjadi hari yang membahagiakan karena suami ulang tahun. Yang terjadi, hari itu suamiku justru menangis. Sepuluh tahun ia menanti punya bayi kedua, lho.
Tak mau larut dalam kesedihan, kami lalu saling menguatkan. Tak ada saling menyalahkan kendati akulah yang meminta melahirkan di RS tersebut. Aku belum mau menyerah. Hari itu juga, dari Klinik Nusantara, kami meluncur ke RS Mata Aini. Aku sengaja tidak memberitahu kondisi Jared pada dr. Lumongga yang memeriksanya. Aku ingin punya opini kedua yang murni. Ternyata hasil USG yang dilakukan Dr. Limongga, sama.
KOMENTAR