Si sulung, kata ayah sembilan anak dan kakek belasan cucu ini, mirip dirinya. "Dari sikap maupun kebiasaan. Dia itu panutan adik-adiknya dan selalu tampil untuk membantu berbagai kesulitan dalam keluarga." Salah satunya, kata Pudjo, ketika tiga adik Harsono harus kuliah, beberapa tahun silam. "Saya kewalahan membiayai kuliah sekaligus tiga anak. Waktu saya ceritakan hal ini ke Harsono, dia langsung menyanggupi membiayai salah satu adiknya. Kini adiknya sudah lulus dan kerja di bank. Saya bangga sekali pada Harsono," kisahnya tentang almarhum yang bertugas di Biak sebagai Panglima Komando Sektor Udara Nasional (Pangkosek Hanudnas) IV Biak.
Harsono dan Dhati, atas permintaan Pudjo, dikebumikan di dekat rumahnya di Klaten. "Saya ingin selalu dekat dengan almarhum," katanya dengan suara tercekat.
Menikah di Depan Jenazah Ayah
Menikah di hadapan sang ayah adalah impian Ria Heriyati. Keinginannya terwujud, hanya saja terpaksa dilakukan di depan jenazah ayahnya, Kapten Pom Heri Kasmiyadi Wahluyo, yang menjadi korban jatuhnya pesawat Hercules C 130 di Magetan.
Kepergian Heri ke Surabaya untuk urusan dinas. "Dari Surabaya ia akan ke Mojokerto dan Kediri, sekaligus nyekar dan minta restu rencana pernikahan putri pertamanya yang direncanakan 1 November 2009," terang Sri Suyati, istri Heri.
Saat mendengar kabar kecelakaan pesawat Hercules di Magetan dari televisi, Sri yakin, itulah pesawat yang ditumpangi suaminya. Sri yang rencananya ikut di penerbangan itu, langsung berteriak histeris. "Enggak tahu kenapa, semalam sebelum pergi, saya mendadak malas berangkat. Saya bilang ke Bapak 'Sudah, Bapak saja yang pergi, biar irit ongkos.' Saya juga tak habis pikir, kenapa bilang begitu," kenangnya getir.
Untuk memastikan keyakinannya, ia beserta Ria dan Anshar Rasyid, calon suami Ria, segera menuju Bandara Halim Perdanakusuma yang sudah ramai dipenuhi keluarga korban. Setelah menunggu beberapa jam, Sri mendapat kabar bahwa suaminya termasuk salah satu korban tewas. Walaupun sudah menduga, berita itu tetap membuatnya syok. Sri dan Ria sempat tak sadarkan diri. "Rasanya kayak mimpi, saya sama sekali enggak punya firasat," ujar Sri.
Saat Ria masih tak sadarkan diri, dr. Kris, paman korban, mencetuskan ide melaksanakan akad nikah keesokan harinya. Entah kenapa, "Ria tiba-tiba bangun dan berteriak-teriak, 'Pokoknya Ria mau nikah ditunggui Bapak. Kalau enggak ditunggui Bapak, enggak mau!' "
Permintaan Ria disepakati Anshar. Setibanya di Halim, jenazah langsung dibawa ke rumah duka. Budi, adik kandung korban yang bertindak sebagai wali nikah, menikahkan Ria dengan mas kawin seperangkat alat salat, cincin emas lima gram, dan sejumlah uang. Walaupun acara akad nikah dihiasi isak tangis, keluarga dan mempelai mengaku lega karena pernikahan telah terlaksana. "Ini sebagai bakti pada orangtua, memenuhi permintaan terakhir beliau," tutup Anshar.
Tumpak, Sita Dewi
KOMENTAR