Sekitar tahun 1999, aku mengalami perdarahan hebat sehingga dibawa keluarga ke Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Budhi Jaya di Tebet, Jakarta Selatan. Dari USG yang dilakukan Dr dr H Ichramsjah -biasa dipanggil dr Iam- ternyata ada myoma dalam rahimku. Aku disarankan rawat jalan.
Setahun kemudian, 3 Mei 2000, dokter menganjurkan myoma tadi diangkat lewat operasi. Sekitar dua minggu kemudian, persisnya 17 Mei, operasi yang diketuai dr Iam itu dilaksanakan. Meski ada sedikit perasaan takut, aku yakin, operasi akan berjalan sempurna.
Keyakinan ini kudapatkan berdasar pengalaman seorang tetanggaku yang juga mengalami hal sama dan dioperasi oleh dokter serta rumah sakit yang sama pula. Berbekal itulah, kupercayakan perawatan dan kesembuhanku pada tim dokter.
Usus Bocor
Usai operasi, dokter minta aku puasa selama tiga hari. Makanan pertamaku dua hari paska operasi adalah bubur. Anehnya, tiap selesai makan, perutku kembung, membesar, dan membuatku jadi sesak napas. Kata dokter, perutku penuh gas dan disarankan mengonsumsi obat via dubur.
Aku ingat sekali, waktu itu dr Iam sempat bertanya padaku, "Kenapa kamu, ya, Sis?" Sekarang kalau ingat itu, sebal rasanya. Kenapa? Dia, kan, dokternya! Harusnya dia, dong, yang lebih tahu bagaimana kondisiku.
Karena tidak ada perubahan, dr Iam memutuskan operasi lagi. Kali ini, ia minta dr Winoto yang mengoperasi. Anehnya, seperti yang diceritakan dr Winoto padaku belakangan, dr Iam tidak menceritakan tahapan operasi pertama yang dilakukannya. Sepertinya, dari awal dr Iam memang sudah tahu, ia melakukan kesalahan di operasi pertama dan untuk menutupinya, ia berusaha mencari kambing hitam, yaitu dr Winoto.
Buktinya, di operasi kedua baru diketahui, napasku yang sesak dan perut yang mengembung, bukan karena kepenuhan gas, melainkan usus besarku mengalami kebocoran. Inilah yang membuat makanan yang kukonsumsi keluar begitu saja melalui usus yang bocor tadi, bukan lewat dubur.
Bukan itu saja. Ternyata di operasi pertama dr Iam belum mengangkat semua tumor yang ada di rahimku. Ini kuketahui melalui bukti film operasi pertama yang kuterima dalam bentuk copy VHS. Di situ terlihat, selama operasi dr Iam lebih fokus melakukan pemisahan usus dibanding pengangkatan tumor. Selain itu, ada juga adegan di mana pisau operasinya menembus bagian ususku.
Sampai sekarang, dr Iam tetap berkelit bahwa ia sudah melakukan operasi sesuai prosedur dan malah "menuduh" dr Winoto yang seakan melakukan kesalahan itu.
Ujung-ujungnya, mereka minta kesediaanku dioperasi lagi. Entah apa fungsi operasi kali ini. Apakah untuk mengeluarkan gas yang katanya ada dalam perutku atau untuk tujuan lain. Yang jelas, rasa sakit dan nyeri tidak hanya menguasai bagian perutku, tapi juga seluruh tubuh. Saking tidak kuatnya, aku sempat minta dr Iam untuk menyuntik mati aku saja. "Sabar, ya. Enggak apa-apa. Kamu kuat," ujar dr Iam menguatkanku.
KOMENTAR