Namun karena sudah biasa sejak kecil, aku tak pernah merasa berbeda dengan teman lain. Aku tidak pernah dilarang bermain dan dengan gembira mengikuti semua permainan.
Kalau ada anak yang mengejekku, barulah jantungku berdebar kencang. Aku seperti tersadar, "Iya, ya, aku beda dengan mereka." Tapi setelah itu, ya, main lagi. Habis, pada dasarnya aku termasuk orang yang santai. Aku tak pernah sakit hati diejek teman. Tak pernah pula pada Tuhan. Untuk apa? Ini memang sudah takdirku. Aku sudah ikhlas, kok.
Yang jelas, karena penyakitku, aku telat masuk sekolah. Baru umur 9 tahun, aku masuk SD. Itu pun, efek kemoterapi masih setia "menemani" hari-hariku. Untunglah aku sudah bersekolah di SLBA Pembina Jakarta sehingga tempat ini menjadi pelipur lara bagiku. Meski muridnya sangat sedikit (pernah hanya tiga orang), tak jadi masalah.
Kami tak berbeda dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah umum. Sama-sama ceria dan aktif mengikuti ekstrakulikuler. Aku juga lumayan nakal. Kalau pelajaran matematika, aku suka kompakan bolos dengan teman-teman, lalu jalan-jalan ke supermarket terkenal kala itu, Golden Trully. Walaupun begitu, prestasiku tak kedodoran. Aku selalu juara kelas. Ya, walaupun juara satu dari tiga murid, tetap prestasi, kan? Hahaha.
Pada masa ini, aku sempat kesal pada Mama karena sama sekali tidak pernah dimarahi, sekalipun nakal atau dapat nilai jelek. Padahal, kedua kakakku, Sally Marcelinda dan Christian, diomeli habis-habisan. Ketika kutanyakan alasannya ke mama, ia menjawab, hidupku sudah terlalu berat bebannya dan ia ak ingin menambahnya lagi. Duh, terenyuh aku mendengarnya.
Lulus SMP, karena ingin kuliah, aku masuk ke sekolah umum, SMA Santo Paulus. Aku tahu risiko memasuki sekolah umum yang penghuninya lebih beragam. Oleh sebab itu, kusiapkan mentalku sekuat-kuatnya. Tegang sekali ketika kakiku menginjak gerbang sekolah dan tambah gemetar waktu memasuki kelas. Memang, sih, ada sebagian orang yang sepertinya takut dengan kondisiku dan menjauhiku. Tapi banyak juga yang mengajakku berkenalan.
Di sini, aku belajar beradaptasi dengan lingkungan yang ramai. Aku berusaha bersikap baik pada semua orang karena aku membutuhkan bantuan mereka. Misalnya, membacakan tulisan guru di papan tulis. Kalau nakalku "kambuh", aku suka bekerja sama dengan teman-teman. Mereka bilang ke guru, aku sakit dan harus diantar pulang. Padahal, kami cuma ingin main.
Menjelang kelas 3 SMA, Jakarta sedang "panas" yang merembet ke kerusuhan Mei 1998. Letak sekolahku yang berdekatan dengan Universitas Trisakti dan mempunyai banyak siswa keturunan China, membuat Mama memindahkan sekolahku. Kota Bandung menjadi pilihan, kebetulan, di sana ada sekolah umum yang menerima siswa tuna netra, namanya SMAK BPPK. Di Bandung, aku kos bersama teman-temanku yang lain ditemani pembantu.
Pilih Mandiri
Di SMA ini, aku semakin aktif mengikuti ekskul musik sembari mengasah kemampuan vokalku. Bahkan, aku sudah mulai menyanyi di kafe. Ya, akhirnya aku bisa mencari uang. Kala itu, karena sudah bisa menghidupi diri dari menyanyi, aku memutuskan tidak kuliah. Apalagi setelah Papa meninggal, aku tak mau jadi beban Mama dan saudaraku. Inilah saatnya bagiku untuk mandiri.
Jadilah aku masuk Yayasan Siswa Terpadu, tempat yang membuka bab baru dalam cerita hidupku. Aku berkenalan dengan anak pemilik yayasan, Mbak Maya Kusbiono. Perempuan baik hati ini memiliki sekolah disc jockie (DJ) dan menawarkan menjadi DJ. Karena sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku, kata-kata yang keluar dari mulutku hanyalah, "Apaan, tuh, DJ?"
Astrid Isnawati
KOMENTAR