DJ Carol, itulah nama panggungku. Jika diumpamakan titik-titik huruf Braille, perlu jutaan titik yang saling menyambung untuk menceritakan kisah hidupku. Titik itu bermula di 16 Juni 1979, saat aku, Carolina Lingkan Yunita Mamuaya, lahir sebagai bungsu pasangan Albert Andres Mamuaya (Alm)-Imzarilda. Kulit putih, rambut pirang kecokelatan, dan gendut, membuatku menjadi anak kecil yang menggemaskan. Kalau tak percaya, lihat saja fotoku waktu aku berusia 3 tahun yang mirip anak bule.
Sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Masuk usia 4 tahun, mataku bermasalah. Retinaku bercahaya setiap kali melihat lampu, persis mata kucing. Dokter mata hanya memberi obat tetes. Mama yang tidak puas, membawaku ke dokter lain di RSCM. Hasilnya luar biasa mengejutkan, aku menderita tumor mata ganas!
Penyakit mematikan ini ternyata sudah mengakar di syaraf mata kiriku. Sebelum tumor merambat ke bagian tubuh lain, terutama otakku, dokter menyarankan harus segera diangkat. Saat itu, pengobatan yang memadai dan terbaik hanya terdapat di luar negeri. Mama memilih mengoperasiku di Belanda, karena banyak saudara yang bermukim di sana.
Sudah Merembet
Belanda oh Belanda. Di negeri kincir angin itu, aku punya sejuta cerita haru. Ketika memeriksakan mataku ke dokter di sana, kabar buruk kembali menghampiri. Ternyata tumor sudah menyebar ke mata kananku dan kedua mataku harus dioperasi. Tapi Mama minta agar mata kananku saja yang diangkat. Alasannya, "Supaya kamu bisa melihat dulu seperti apa Indonesia, seperti apa Jakarta." Aku yang masih kecil, menurut saja. Apa pun pilihan Mama, aku yakin itu yang terbaik.
Sebelum operasi dilakukan, tanpa henti Mama dan Papa menjelaskan apa yang akan terjadi nanti. "Carol, nanti kamu enggak akan bisa melihat seperti orang lain." Ketika kutanya apa sebabnya, Mama dan Papa menjelaskan penyakitku. Tanpa kusadari, perlahan-lahan aku belajar jadi dewasa. Aku jadi paham, akan tumbuh berbeda dengan anak sebaya lainnya.
Meski operasi berjalan sukses, itu bukan akhir darisegala pengobatan yang harus kujalani. Masih ada terapi lain yang sungguh menyiksa, yaitu kemoterapi yang betul-betul kubenci. Aku jadi mudah lelah, rambut rontok sampai kelimis, tak menyisakan sedikit pun rambut. Berat badanku menyusut drastis. Malah, sampai sekarang sulit sekali ingin menaikkan bobot. Aku juga jadi sering marah-marah tak karuan, bahkan mengamuk. Belum lagi, aku jadi sering berhalusinasi seperti melihat setan di kolong tempat tidur. Benar-benar menyiksa!
Kenangan Indah Di Belanda Setahun di Belanda, banyak sekali kejadian yang kualami dan masih membekas di ingatan hingga kini. Di sana, tanpa lelah keluargaku mengenalkan warna-warna di sekitarku. "Ini merah," atau "Lihat langit di atas sana? Itu warnanya biru campur putih." Begitu mereka menjelaskan terus-menerus, sampai melekat di otakku.
Dengan mata terpejam, aku masih bisa melihat salju yang turun di Belanda. Mereka seperti kapas kecil yang berduyun-duyun turun menyentuh tanah. Pun ketika musim semi tiba, bunga-bunga bermekaran dengan warna jelita. Mama juga memberitahu nama setiap bunga. Dulu, aku juga sempat terkaget-kaget ketika bercermin. Wah, ternyata mataku indah! Warnanya cokelat dan bulu mataku lentik.
Sesudah operasi dan masa penyembuhan berakhir, kami kembali ke rumahku di Jalan Surabaya, Menteng. Mama menepati janjinya, mengenalkan Jakarta. Salah satunya, ke kebun binatang dan "diperkenalkan" satu persatu penghuninya. Sungguh mengasyikan menghabiskan waktu di tempat itu. Makanya, sampai sekarang, aku suka sekali mendengar acara mengenai kehidupan alam liar di televisi. Setiap kali acaranya bercerita mengenai binatang, pikiranku melayang ke kebun binatang. Aku masih ingat, lho, seperti apa bentuk mereka!
Anehnya, sekalipun tahu sebentar lagi mata kiriku akan diangkat, aku tenang-tenang saja. Kendati begitu, saat hari operasi tiba, aku panik dan ketakutan setengah mati ketika suster mulai membiusku. Aku teringat pengalamanku dioperasi di Belanda dulu, dibius total.
Syukurlah, operasi sukses dilakukan meski itu berarti aku buta total. Waktu itu, umurku 5 tahun. Saat siuman, Mama sudah di sampingku. "Yaah, sekarang aku enggak bisa melihat lagi, deh!" kataku pada Mama. Polos sekali, ya? Setelah aku besar, Mama baru bercerita, ternyata kalimatku itu membuat seluruh keluarga menangis secara diam-diam karena tak ingin aku sedih.
Astrid Isnawati
KOMENTAR