Bisa jadi tahun 2008 merupakan tahun menghijaukan dunia. Dengan konsep zerowaste, Anda bisa turut menjaga lingkungan, sekaligus mendapat manfaat pupuk bagi penghijauan.Sampah merupakan masalah klasik masyarakat perkotaan yang tak pernah bisa terselesaikan secara tuntas. Berbeda dengan di desa, kelompok masyarakat perkotaan tak punya banyak pilihan dalam mengolah sampah yang dihasilkan. Ujung-ujungnya, tinggal menyerahkan manajemen sampah pada petugas atau dinas kebersihan kota saja. Beres! Sayangnya, budaya serba instan ini membuat kebanyakan orang kota jadi tak berpikir cara kreatif mengolah sampah sendiri.Lantas, bagaimana halnya dengan lingkungan sosial yang tak punya mekanisme pengolahan sampah? Misalnya, di kawasan perkampungan kumuh dan pemukiman liar. Apalagi, kesadaran menjaga lingkungan masih rendah. Akhirnya, timbul tindakan tak bertanggung jawab dengan membuang sampah ke sungai!Akibatnya, timbul masalah lebih besar di kemudian hari. Sampah rumah tangga dan aneka limbah plastik lainnya yang hanyut dibawa air sungai, lama-lama menumpuk dan memperkecil aliran sungai.Padahal, salah satu fungsi sungai di wilayah perkotaan adalah sebagai drainase, atau pencegah air menggenang atau banjir di wilayah kota. Itulah sebabnya, sampah kemudian sering dikaitkan sebagai penyebab banjir di kota-kota besar.Gerakan ZerowasteKesadaran untuk menjaga lingkungan tetap bersih memang mutlak dimiliki setiap orang. Dengan tingkat kesadaran yang baik, paling tidak bisa mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan akibat sampah.Salah satu yang coba diperkenalkan Sobirin Supardiyono, dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) yaitu dengan mengelola sampah secara mandiri, atau yang disebutnya dengan istilah gerakan zerowaste.Gerakan yang mengusung konsep 3R (reduce, reuse and recycle) ini sengaja digalakkan Sobirin untuk memacu semangat masyarakat perkotaan menyelesaikan masalah sampah secara proaktif.Awalnya, gerakan ini dimulai dari persoalan-persoalan yang muncul di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, yang semakin tidak representatif. "Salah satu contoh, di Kota Bandung saja produksi sampah bisa mencapai sekitar 6.915 m3 perharinya, dengan jumlah penduduk 3 juta orang," ungkap Sobirin.Sehingga, lanjutnya, masyarakat kota perlu berpikir untuk mengelola sampahnya sendiri agar setiap elemen masyarakat tidak semakin menambah persoalan sampah ini di kotanya masing-masing.Kompos RT & KomunalBayangkan bila setiap orang mau menjalani upaya me-recycleArtinya, dengan gerakan zerowaste, masyarakat kota bisa mengurangi paling tidak ½ dari sampah setiap harinya. "Jika gerakan ini terus dilakukan dan makin berkembang, tentu bisa mengurangi persoalan sampah di perkotaan," ungkap Sobirin.Jadi, inti utama dari gerakan zerowaste adalah memulai gerakan ini dari tingkat rumah tangga (RT). Nah, zerowaste yang bisa dilakukan, selain me-recycle sampah non-organik (misalnya sampah dijadikan barang kerajinan), juga bisa dijadikan kompos."Contoh saja, komposisi sampah di Bandung, 65 persennya terdiri dari sampah organik. Kita bisa mengusahakan pengolahan sampah organik ini menjadi kompos. Jadi, paling tidak kita sudah me-reduce produksi sampah RT ke TPA lebih dari setengahnya, bukan?" ungkap Sobirin mengkalkulasi.Sayangnya, persoalan selanjutnya adalah minimnya lahan untuk membuat kompos di perkotaan. Secara tradisional, pembuatan kompos menuntut adanya cukup lahan untuk membuat 'kuburan' kompos di pekarangan.Apalagi, efek samping bau tak sedap yang akan mengganggu selama pembuatan kompos membuat malas orang kota untuk ikut berpartisipasi dalam program ini."Soal lahan, kini sudah ada teknik "takakura" yang lebih hemat lahan. Tapi soal bau memang agak sulit dihilangkan. Setiap proses pembusukan pasti akan menghasilkan bau," ungkap Sobirin.Sobirin lalu mencari cara untuk mengurangi bau tak sedap ini. Salah satunya dengan teknik pembuatan kompos anaerob, yang ditutup plat beton dan melapisi kompos dengan tanah setebal 5 cm, di setiap pembuangan sampah organik."Bila menyediakan lahan untuk membuat kompos sendiri saja sulit, sebenarnya masih bisa diusahakan dengan membuat kompos secara komunal atau kompos kebun," imbuh Sobirin.Namun, berdasarkan pengalaman Sobirin, untuk mengembangkan pengomposan skala komunal ini diperlukan semacam 'capacity building' dari kelompok warga.Artinya, perlu ada orang-orang yang bertanggung jawab melakukan proses pengolahan sampah organik, mulai dari pengumpulan hingga pengadukan, sehingga didapat proses pengomposan yang benar.Jangan sampai, lanjutnya, setelah sampah terkumpul, tak ada yang mau mengelola. Sehingga, kompos kebun akhirnya hanya akan menjadi 'monumen' yang ditumbuhi rumput dan tanaman liar.Banyak ManfaatSebenarnya, me-reduce sekaligus me-recycle sampah organik RT menjadi kompos justru akan banyak mendatangkan keuntungan. Di samping lingkungan jadi lebih bersih, juga sangat menguntungkan bagi Anda yang suka berkebun.Kompos, dengan kata lain adalah nutrisi sekaligus starter bagi tanah untuk mengembalikan unsur hara secara alami. Sehingga, tingginya unsur organik dan mikroorganisme dalam kompos, serta kemampuannya mempertahankan kelembapan tanah menyebabkan akar tanaman mampu berkembang secara optimal. Tak heran bila kompos lalu dianggap sebagai alternatif upaya berkebun secara organik."Dengan menggunakan kompos sebagai pupuk, tanaman bisa tumbuh lebih kuat. Tanaman buah pun akan berbuah lebih manis," ungkap Sobirin seraya memaparkan hasil percobaan Pepaya Kuning dengan kompos memiliki keunggulan rasa lebih lembut, wangi, dan manis.Untuk konsumsi skala kecil, lanjutnya, kompos bisa digunakan sebagai menyuburkan tanaman hias, bunga, atau sayuran di pekarangan rumah. Hasilnya, lingkungan bebas sampah, dan makin semarak dengan pepohonan yang tumbuh sehat di sekitar tempat tinggal. Suasana rumah pun terasa lebih asri dan segar karena kontribusi oksigen dari tanaman di sekitarnya.
Laili Damayanti
PROMOTED CONTENT
REKOMENDASI HARI INI
6 Kebiasaan di Rumah ini Bisa Menyebabkan Kebakaran. Ibu-ibu Waspada!
KOMENTAR