Becky Tumewu Konsumen Cerdas
Dulu, Becky Tumewu (43) memang kerap menyisihkan pendapatan untuk dana pendidikan kedua putrinya, Tara (13) dan Kayla (10) dalam bentuk tabungan pendidikan dan asuransi unit link. Namun lima tahun belakangan ini ia memilih menempatkan dana untuk pendidikan kedua putrinya dengan cara belanja reksadana sendiri.
Ia enggan menggunakan produk yang sudah dikemas oleh bank atau perusahaan asuransi. Hal ini ia pahami dari hasil belajar dengan beberapa teman yang bekerja sebagai penasihat keuangan. Saran dan ilmu dari mereka pun lantas ia ikuti. Dan kini Becky tak hanya punya pos dana untuk pendidikan. Tapi juga untuk dana pernikahan anak, pensiun, kesehatan.
Becky mengaku menyukai reksadana untuk dana pendidikan lantaran return-nya besar, "Tapi risikonya juga besar. Berarti tidak boleh untuk kebutuhan dalam waktu dekat. Cocoknya untuk jangka panjang. Saya pun tak perlu panik jika pasar sedang naik-turun," ujar perempuan berpembawaan luwes ini.
Mengaku bukan investor tipe pikulan yang mudah tergiur saat pasar sedang turun, ternyata ia memiliki jadwal rutin untuk belanja. "Kalau ada uang dan pas jadwalnya untuk beli, ya, beli. Kalau enggak ada, ya, sudah. Saya disiplin tiap awal bulan membeli reksadana. Tapi bila ada keperluan yang urgent, belanjanya bisa menyusul. Jumlahnya tetap dan sudah dihitung."
Kendati kondisi pasar dianggap tak menentu, sejauh ini Becky masih nyaman berinvestasi dalam bentuk reksadana. Terutama dalam penempatan dana jangka panjang. Namun kombinasi reksadana juga ia teliti dan evaluasi.
Jika tak dipakai uangnya tetapi ada di instrumen investasi yang aman namun lama berkembangnya, "Biasanya karena sudah paham, saya jadi berani mengganti instrumen. Pernah ketika pasar morat-marit tapi nilai investasi terus menanjak. Bukan berarti saya mengerti saham atau perusahaan yang bagus, tapi saya pelajari tiap laporan bulanan yang datang."
Tahun depan, kedua putrinya masuk SMP dan SMU. Ia memilih menabung rutin tiap bulan ketimbang menuai investasi yang telah ia tanam di reksadana. "Nanti saja empat tahun lagi untuk anak masuk kuliah dan SMU. Kalau waktunya sudah dekat, tak bisa mengandalkan kondisi pasar," ujar Becky yang memilih sekolah internasional untuk kedua putrinya dengan mempertimbangkan kualitas dan lokasi.
Soal investasi, Becky juga melihat profil sekolah yang ia lirik untuk kedua putrinya. Baginya, mahal atau tidaknya biaya sekolah, orangtua tetap harus memilih produk investasi yang bagus. Ia juga memberi saran untuk menjadi konsumen yang cerdas ketika membeli investasi. "Harus paham dan kenal produknya. Bisa lewat banyak baca atau bertanya. Jangan gegabah dan termakan omongan orang. Lihat juga perusahaan yang mengelolanya, terpercaya atau tidak."
Bagi pasangan Irfan Hakim (38) dan Della Sabrina Indah Putri, perencanaan pendidikan untuk anak idealnya telah dipersiapkan sejak masa kehamilan. Dimulai dengan menilik alokasi dana, jenis sekolah, lokasi, dan lingkungan. Semuanya harus dipikirkan sedini mungkin.
Ketiga putri mereka: Aisha serta si kembar Rakana dan Raina juga selalu dibekali pendidikan tak hanya di sekolah. "Kalau bisa, mereka bermain sambil belajar di rumah. Kami ingin ada ilmu di tiap kegiatan mereka, misalnya sedang makan buah sambil menghitung jumlah anggurnya," ujar Irfan diamini Della.
Namun soal dana pendidikan, pasangan yang menikah pada 7 Juli 2007 silam ini mengaku telah menyiapkan investasi khusus. Bentuknya cukup bervariasi. "Yang penting dananya dipersiapkan dulu, sementara sekolahnya bisa di mana saja. Ambil contoh, saat ini sekolah si kakak biayanya sekian, lalu estimasi untuk si adik beberapa tahun mendatang biayanya tentu akan lebih besar. Dari situ kami bisa perkirakan jumlah dana yang dibutuhkan."
Bertolak dari pengalaman ketika Aisha lahir, Irfan dan Della pun lantas terpikir menyiapkan investasi dana pendidikan. Mereka memanfaatkan jasa financial planner yang memberi pembelajaran soal investasi. Setelah lepas dari itu, mereka mulai mengelola keuangan sendiri. Pilihan pun jatuh pada reksadana untuk menyiapkan kebutuhan si kembar yang empat tahun lalu masih dalam kandungan. "Kalau bisa, berinvestasi jangan cuma satu bentuk. Misalnya, reksadana bisa dipecah dalam beberapa jenis. Untuk dana darurat juga bisa berbentuk emas, tabungan, atau asuransi."
Khusus yang terakhir, Della berbagi pengalaman. "Rasanya ilustrasi perhitungan asuransi pendidikan itu besar. Padahal, begitu tahu ilmu inflasi, jumlah yang diberikan ternyata nilainya kecil sekali." Guna menyiasati agar dana pendidikan tak turut tergerus inflasi, Della menyarankan agar teliti pada tujuan berinvestasi. Apakah mau dalam jangka panjang, menengah, atau pendek.
Untuk jangka lima tahun ke depan, bisa pakai reksadana. "Jenisnya bermacam-macam. Kami menggunakan reksadana pendapatan tetap dan reksadana campuran." Namun, jika dana akan dipakai dalam hitungan bulan, "Untuk mengamankan dana bisa menggunakan deposito atau reksadana pendapatan tetap."
Sedangkan untuk investasi dana pendidikan jangka panjang, Irfan dan Della sepakat memilih reksadana saham. Pemanfaatannya diperkirakan masih 15 tahun ke depan. Untuk itu, mereka memilih mendiamkan saja investasi itu. "Segala bentuk investasi memang ada risikonya. Tinggal dilihat mana yang mampu dihadapi. Kami berinvestasi anggap saja uangnya hilang. Kalau bisa berkembang, ya, Alhamdulillah," ujar Irfan yang mengaku tipe agresif dalam berinvestasi. "Tak pernah hitung-hitungan lagi. Paling hanya mengecek perkembangannya tiap periode, apakah sudah waktunya untuk diambil dan lain-lain."
Seperti di tahun lalu, dua jenis reksadana yakni pendapatan tetap dan campuran telah dicairkan untuk biaya masuk sekolah si kembar. Irfan dan Della mengaku, sengaja menyiapkan dana lebih. Ternyata biaya yang diperkirakan malah lebih murah. "Jadi ada untungnya sedikit, kami menargetkan di atas biaya rata-rata sekolah yang naik 20 hingga 30 persen setiap tahunnya."
Della berujar, sebenarnya banyak informasi yang bisa dicari soal investasi dana pendidikan, termasuk ilustrasi perhitungannya. "Kami belajar sendiri mengatur keuangan. Sisihkan sesuai kemampuan. Dana yang ada dialokasikan semaksimal mungkin. Kalau kita memang berniat untuk memenuhi kebutuhan anak, pasti bisa."
Misalnya, jika ingin memulai berinvestasi dengan memilih reksadana. "Bisa dengan minimal Rp100 ribu. Semua kembali lagi kepada tujuan dan kemampuan keluarga. Tidak mesti jutaan rupiah," ujar Della yang selalu membagi tiga pos keuangan keluarganya untuk belanja, investasi, dan beramal.
Ade Ryani HMK
KOMENTAR