Strategi mengeluarkan banyak album, kata Rahayu Kertawiguna, Presdir label Nagaswara, mulai dilakukan awal 2009. Sebulan, bisa belasan album dari band atau penyanyi yang namanya masih asing di telinga.
Spekulasi? "Memang, tapi tetap dengan perhitungan dan misi yang jelas. Kasihan, kan, pemuda-pemuda itu. Daripada mereka melakukan hal negatif, lebih baik kami salurkan," ungkap Rahayu. Soal bagus tidaknya, katanya, ia lebih suka menyerahkan ke masyarakat untuk menilainya. "Selera pasar susah diterka. Ada yang dianggap bagus, malah meleset dan sebaliknya. Contohnya, Wali. Musiknya biasa saja tapi ternyata sukses besar." Ring back tone-nya (RBT) saja mencapai 4 juta atau setara dengan Rp 30 miliar. "Setelah dianalisa, rupanya kekuatan Wali ada di lirik lagunya yang sederhana."
Dibandingkan label lain, Nagaswara lebih terbuka untuk pendatang baru. "Kualitas bermusik bukan satu-satunya syarat untuk diorbitkan. Toh, mendapatkan penyanyi atau band yang memiliki musikalitas bagus terhitung langka. Jadi, ukuran bagus bukan berdasar musikalitas, melainkan selera pasar."
Masih Yang Mendayu-dayu
Dari puluhan penyanyi atau band orbitannya, ujar Rahayu, hanya 30 persen yang punya kualitas musik baik. "Mungkin, kalau label lain, sisa 70 persennya enggak diambil. Kalau kami, masih kasih kesempatan dan mau mengambil risiko itu. Termasuk musik dengan segmen tertentu."
Dengan risiko seperti itu, jelas laba besar buka target utama. "Modalnya juga sedikit. Misalnya modal Rp 25 juta, untungnya juga paling Rp 30 juta," ungkapnya. Sejauh ini strateginya cukup berjalan lancar. Buktinya, Nagaswara bisa "menemukan" Hello, Wali, Merpati Band, The Rain, T2, dan Tahta.
Untuk mendapatkan "bibit unggul", Rahayu rajin mencari info. Baik dari karyawannya, pencari bakat, radio-radio di daerah, penyanyi yang datang padanya, hingga lagu di pasar bajakan. Biasanya, ia mendahulukan yang dirasanya unik. Salah satu temuannya yang membuatnya bangga adalah Merpati Band. "Saya dapat info dari radio di Ciamis. Mulanya saya tak yakin, lagu Tak Selamanya Selingkuh Itu Indah (TSSII) bakal meledak. Ternyata di pasar bajakan sudah jadi lagu wajib," cerita Rahayu yang kemudian memboyong Merpati Band ke Jakarta.
"Merpati-Merpati" lain ingin diciptakan Rahayu. "Saya ingin bangun musik daerah. Kalau bisa, tiap propinsi punya wakil. Sekarang saya sedang mempersiapkan dari Aceh, Medan, Padang, bahkan Ternate."
Rahayu punya saran untuk mereka yang ingin berhasil menembus dapur rekaman. Selain harus "beda", "Lagu harus orisinal, karya sendiri, jangan sampai ada masalah kemudian hari." Soal penampilan? "Kami enggak pedulikan. Tapi, nantinya akan kami kemas dengan baik. Seperti ada yang bilang, Wali acak-acakan, tapi tetap punya kemasan yang bagus, kan," ujar Rahayu yang memprediksi jenis musik Melayu atau yang mendayu-dayu masih akan disukai. "Kalau untuk jualan pasarnya, masih seperti Kangen Band, Wali, dan ST 12. Soalnya, orang kita enggak bisa langsung banting setir. Telinga orang Indonesia tak bisa seperti orang Barat."
Yang jelas, sama seperti label lain, Nagaswara juga menerapkan "titip edar" bagi penyanyi atau band dari luar. Biasanya, untuk sistem ini, seluruh biaya produksi dan promosi ditanggung si penitip. "Kalau ingin punya album, biaya yang dikeluarkan idealnya di atas Rp 500 juta. Terbesar untuk promosi dan pemasaran."
Salah satu contoh "titip edar" yang sukses di Nagaswara adalah Seventeen. "Katanya, RBT-nya sampai 2 juta. Saya ikut bangga ikut berperan dalam keberhasilan mereka, walaupun untuk album selanjutnya mungkin tidak ke Nagaswara lagi," ujar Rahayu yang juga menyebut acara musik di teve sebagai salah satu alat promosi yang jitu.
AHMAD TARMIZI
KOMENTAR