Tabloidnova.com - Ia adalah perempuan inspiratif di Tanah Rencong. Istri dari dr. Marzuki, SH, MM, M.Kes. ini mengabdi sebagai bidan untuk membuktikan kecintaannya pada dunia kesehatan. Klinik kecil yang ia dirikan sukses berubah menjadi sebuah rumah sakit besar dan mempekerjakan puluhan karyawan. Sayangnya, bencana tsunami sempat menghancurkan semuanya. Beruntung, ia mampu kembali bangkit dan mengulang kesuksesannya lewat jalan lain.
Saya anak bungsu dari tiga bersaudara dari keluarga sederhana. Kata Ibu, saya sejak kecil sering disebut “dukun” karena suka merawat dan membantu orang yang lagi sakit. Kalau diingat sih memang saya tipe orang yang enggak sampai hati kalau melihat ada yang sakit. Rasanya ingin segera membantu.
Ada pengalaman berkesan saat saya 9 tahun. Suatu hari, anak paman yang baru berumur 4 tahun tiba di rumah dan berencana tinggal di rumah kami. Saya menyambutnya dengan senang hati, tetapi saat melihat kondisinya, duh, saya prihatin. Kulitnya kudisan, bahkan berbau anyir tak sedap. Saya enggak tahan, bawaanya langsung ingin membersihkan dan mengobatinya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja saya berinisiatif mencari belimbing wuluh sebanyak genggaman tangan. Belimbing wuluh itu kemudian saya hancurkan dan campurkan dalam seember air. Adik saya itu langsung saya mandikan dan bersihkan kulitnya. Dia menjerit, bahkan sampai menangis, karena kulitnya perih. Ibunya pun sempat memarahi saya. Saya ingat betul kata beliau, “Itu diapain kok sampai menjerit? Emang kamu kira dia ikan, dimandikan pakai asam?”
Eh, enggak tahunya tiga hari kemudian luka-luka di kulitnya cepat mengering dan dia malah sembuh dari kudis. Ya, saya memang termotivasi sendiri dan merasa terpanggil membantu siapapun yang tengah sakit. Banyak juga anggota keluarga yang saya rawat kalau sakit.
Perawat Door To Door
Melihat potensi saya dan ketelatenan mengurus orang sakit, Ibu saya pun memotivasi dan menyarankan saya supaya nanti melanjutkan sekolah sebagai juru rawat. Namun, beliau juga selalu mewanti saya, kalau ingin masuk sekolah perawat, nilai-nilainya harus tinggi. Saya pun termotivasi belajar dan akhirnya berhasil mendapatkan nilai terbaik.
Lulus dari bangku SMP, saya ikut tes masuk Sekolah Perawat Kesehatan Banda Aceh, tahun 1978, angkatan kedua. Sebenarnya saat itu saya juga ikut tes masuk ke sekolah keguruan. Ayah ingin saya jadi guru, tapi karena keinginan saya jadi juru rawat kuat, saat tes sekolah keguruan, dengan sengaja saya mengosongkan semua kertas jawaban. Ha ha.
Lulus dari SPK Banda Aceh, saya menikah tahun 1982. Kebetulan suami juga perawat dan kami mendapatkan penempatan di Blang Oi. Di sana, ada puskesmas pembantu serta rumah kecil, jadi kami hidup di situ. Saya kemudian juga melanjutkan mengambil pendidikan D1 Kebidanan dan lulus tahun 1984.
Perjalanan menjadi seorang bidan di daerah tentu memiliki banyak cerita. Saya bahkan harus door to door melayani dan mengedukasi ibu hamil. Tak terasa, 10 tahun saya habiskan untuk datang dari rumah ke rumah. Tentu tak semuanya menyenangkan. Pernah ada yang meminta pertolongan ketika dini hari. Saat itu ibu tidak mengizinkan apalagi lokasinya cukup jauh dari rumah.
Saya sendiri memohon agar diizinkan menolong. Ibu, meski merasa ada yang tidak beres, namun akhirnya mengizinkan. Tak lupa, beliau mencatat plat nomor sepeda motor yang menjemput saya. Ternyata langkah beliau tepat, saya jadi terbiasa waspada saat memberikan pertolongan.
Melihat saya sudah mendapat banyak kepercayaan dari masyarakat, suami saya mengusulkan membuka klinik sendiri tahun 1991. Jadi, pagi hingga sore saya bertugas di puskesmas, sore hingga malam saya praktik di klinik. Apalagi suami saat itu sudah menyelesaikan pendidikan dokternya. Kami dikaruniai lima anak, masing-masing Siska Mazas, Davina Mazas, Ihsan Mazas, Sadiq Mazas dan Istiqomah Mazas. Mazas itu singkatan nama suami dan saya, Marzuki dan Asma. Bersyukur, saya dibantu ibu mengawasi anak-anak sejak mereka kecil.
KOMENTAR