"Saya sengaja mengejar tanda tangan dan cap itu, sebagai bukti bahwa saya memang sudah mengunjungi daerah itu. Tanda tangan dan cap ini tidak bisa berbohong," ujarnya sambil membolak-balik ratusan lembar buku yang juga sudah lusuh itu.
Rute petualangan Hambali tidak runut. Dia pergi ke mana saja yang bisa dia jangkau dengan uang yang didapatnya selama bekerja di suatu tempat.
Baca juga: Kisah Anak-anak Suku Bajo Belajar di Sekolah Terapung yang Sudah Reyot
Hambali tiba di Merauke pada tanggal 10 Oktober 1988 dan di Sabang pada 25 September 2003. Dia juga telah mengunjungi pulau Marore, salah satu pulau terluar yang berbatasan dengan Filipina pada 26 Agustus 1989.
Semua kunjungan itu tercatat di bukunya lengkap dengan tanda tangan dan cap pemerintah setempat.
Yang menyenangkan baginya adalah saat yang membubuhkan tanda tangan ikut pula menuliskan pesan dan kesannya. Hambali bahkan telah berkelana hingga ke Asmat, Agas, Timika, Manado, hutan Kalimantan, berbagai kawasan konservasi, hingga ke Flores. Seluruh provinsi di Indonesia sudah didatanginya, dan terus akan dijelajahinya.
"Saya tak tahu kapan saya akan berhenti berjalan. Saya hanya tahu Indonesia sangat indah dan akan terus dirindukan untuk didatangi," katanya dengan mantap.
Menurut pria yang sudah bercerai dengan istirnya 20 tahun lalu ini, Indonesia adalah rumahnya. Dia bisa tinggal di mana saja di seluruh jazirah Nusantara, dan merasa nyaman. Tak terhitung lagi berapa banyak orang yang dia temui selama 28 tahun petualangannya.
"Semuanya baik, semua orang Indonesia baik. Di setiap tempat, saya selalu diterima. Saya tak pernah khawatir, ada saja orang yang mau membantu, walau itu sekadar menyediakan makan siang," cerita Hambali.
Tak jarang dalam petualangannya dia harus beristirahat sekian lama karena didera sakit. Salah satunya saat dia mengunjungi Sangihe di Sulawesi Utara. Kala itu dia harus terbaring sakit dan tak berdaya.
"Saya pergi ke Puskesmas Kumu untuk berobat. Petugas di sana meminta saya untuk rawat inap di puskesmas. Saya tidak punya uang membayar biaya pengobatan. Tak disangka mereka baik dan menggratiskan semuanya hingga saya sembuh," kisah Hambali.
Saat berada di Minahasa Utara, Hambali malah pernah menjadi pekerja tambang. Dia ikut satu kelompok penambang emas di Tatelu. Di sana dia belajar bagaimana kerasnya kehidupan para petambang.
KOMENTAR