Prihatin terhadap rendahnya budaya baca dan menulis pada anak-anal, ibu 3 anak berwajah elok ini mendirikan Indonesia Writing Edu Centre (IWEC), sebuah lembaga yang mendidik anak-anak untuk menulis sekaligus mencetak buku hasil karya mereka. Cibiran banyak orang yang menyebut usahanya sebagai “bunuh diri” karena budaya literasi di Indonesia yang masih rendah tak menyurutkan semangatnya. “Saya memimpikan IWEC melahirkan penulis-penulis anak yang andal,” kata perempuan ini penuh semangat.
Sejak kapan dan apa latar belakang Anda mendirikan IWEC?
Resminya tahun 2014. Latar belakangnya saya merasa prihatin budaya membaca dan menulis di Indonesia masih sangat rendah. Padahal saya pernah membaca bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang budaya literasi masyarakatnya tinggi.
Bagaimana Anda mengawalinya?
Tahun 2013 saya diminta mengajar di sebuah lembaga semacam kursus yang mengajari anak-anak menulis. Tetapi, saya lihat kurang pas, sebab di tempat itu peran saya tidak ubahnya hanya seperti mengoreksi karangan atau karya tulis anak. Tidak ada guidence bagaimana anak membuat sebuah karya tulis yang bagus, detail dan terstrukur.
Kebetulan lembaga tersebut akhirnya tutup. Nah, dari sana saya lalu berpikir kenapa tidak mendirikan sendiri saja lembaga serupa dengan kurikulum yang lebih bagus. Setelah berdiskusi dengan suami, Mas Nurdin Razak, kami pun sepakat mendirikan IWEC.
Di IWEC, anak tak sekedar diajari soal soal tulis menulis tetapi sekaligus sampai mencetak buku dan publikasinya. Tak hanya itu, anak juga diberi materi soal public speaking. Ya, soalnya setelah buku terbit, kami akan mengundang wartawan dan ada sesi wawancara anak-anak dengan wartawan serta berbicara dengan audiens untuk mempromosikn buku karyanya.
Bagaiamana sih alur anak belajar di IWEC? Pelajaran apa saja yang mereka dapat?
Anak masuk IWEC di usia 7-15 tahun. Untuk efektivitas, setiap kelas diisi maksimal 6 anak dengan satu pengajar. Sesuai dengan kurikulum yang kami buat, mereka ini kami beri materi mulai dari pengenalan ejaan yang disempurnakan (EYD), kosa kata, diksi, membuat alur cerita, teknik wawancara, dan banyak lagi. Semuanya ada 12 item. Pelajaran ini diberikan seminggu sekali selama 2,5 jam. Tentu saya tidak sendirian, sehari-hari saya dibantu lima pengajar.
Total lama kursus adalah 18 bulan. Rinciannya, enam bulan pertama teori, ditambah delapan bulan proses teknik pembuatan cerpen, dan ditambah empat bulan lagi untuk materi pelajaran public speaking.
Tetapi yang perlu dicatat, kami mengajar mereka ini tak hanya di dalam kelas tetapi sebulan sekali kami ajak anak keluar ke supermarket, pasar tradisonal, atau ke tempat yang bisa memperkaya khasanah pengetahuan anak. Sehingga ketika mereka menulis tidak sekedar berimajinasi tetapi imajinasinya tetap relevan sebab mereka tahu detailnya. Misalnya anak-anak menulis tentang pasar tradisional. Nah, kalau mereka sendiri tidak pernah tahu bagaimana suasana di dalam pasar tradisional kan tulisannya jadi hambar, tidak ada ruhnya.
Setelah menguasai tulis menulis, kemana anak-anak ini diarahkan?
KOMENTAR