Sejak kapan Anda mulai aktif mendalami kain tenun ikat?
Di kampung saya, menenun sudah menjadi kegiatan sehari-hari dan dilakukan turun-temurun. Ibu, tante, nenek, tetangga, bahkan semua wanita di Flores dan NTT sudah terbiasa menenun sejak kecil.
Saya mulai bisa menenun sejak SMP. Tapi, itupun hanya mengerjakan per bagian saja. Soalnya, untuk anak dan remaja, memang hanya diperbolehkan mengerjakan bagian-bagian tertentu saja.
Mengerjakan tenun ikat tidak sekaligus seperti kain lainnya. Mengerjakannya harus bagian per bagian. Tapi, saya baru benar-benar terjun aktif melestarikan tenun ikat sejak Oktober 2003.
Bagaimana ceritanya?
Setelah tamat kuliah dari Universitas Widya Mandala Surabaya pada 1998, saya sempat bekerja di Surabaya. Tapi, saya merasa terikat dan jadi tergantung sekali kepada kantor orang.
Saya seperti bekerja untuk membesarkan kantor orang, sementara di kampung, saya punya tanah sendiri, dengan sumber daya alam dan manusia yang luar biasa.
Saya ingin sekali bekerja di lahan sendiri. Dengan begitu, saya bisa menyediakan waktu dan diri saya untuk membantu orang lain. Disamping itu, saya juga senang.
Kalau di perusahaan, saya yang "kecil". Tapi di sini, saya jadi orang "besar" di tengah orang-orang "kecil". Akhirnya saya putuskan untuk kembali ke kampung.
Lantas, apa yang kemudian Anda lakukan?
Saya berinisiatif mengumpulkan ibu-ibu di kampung saya untuk mulai menenun. Kebetulan ada tanah dan lahan kosong. Saya minta ibu-ibu memanfaatkan bambu, alang-alang dan kelapa untuk membuat rumah tenun. Daripada hanya mencari kutu dan menganggur, saya memotivasi mereka.
Jujur, awalnya ini hanya proyek iseng. Tapi, mereka ternyata serius bekerja. Padahal, mengerjakan tenun itu, kan, berat. Prosesnya panjang, rumit, dan butuh ketelitian tinggi. Melihat keseriusan mereka, saya tergerak untuk ikut serius. Akhrinya saya giat mencari informasi ke pemerintah dan dinas-dinas terkait, sampai akhirnya mereka memberi bantuan sehingga saya jadi lebih fokus.
(Alfonsa memrakarsai berdirinya Sentra Industri Lokal Lepo Lorun (STILL) sejak Oktober 2003).
Siapa saja yang menjadi anggota binaan Anda?
Sekarang, kelompok binaan saya sudah tersebar di 12 desa di seluruh Pulau Flores dan Pulau Palue. Setiap kelompok rata-rata beranggotakan 21 orang. Jadi total sekitar 252 orang anggota. Sampai tahun 2009 lalu, kami sudah berhasil memproduksi sekitar 900 helai kain tenun ikat Flores. Tidak cukup banyak, karena memang prosesnya rumit sekali.
Prosesnya saja harus melalui 18 tahapan. Mulai dari kapas dipintal jadi benang, lalu jadi kain, sebelum jadi kain diikat dulu, diberi warna, diurai satu per satu, di-frame, sampai beberapa macam frame tenun.
Rata-rata untuk satu lembar kain, yang asli dari bahan pintal dan pewarna alam kurang lebih dikerjakan selama 9 bulan. Itu yang standar. Harganya pun jauh lebih tinggi. Minimal Rp2,5 juta sampai tidak terbatas. Yang harganya Rp 25 juta pun ada.
Anda, kan, lulusan Teknologi Pertanian. Lalu, bagaimana cara mengembangkan kemampuan anggota binaan Anda?
Saya hobi sekali mencampur-campurkan warna. Saya juga sempat memperdalam pengetahuan dengan mengikuti pelatihan tekstil di Yogyakarta. Saya belajar memadukan warna dengan menggunakan pewarna praktis.
Nah, ilmu itulah yang saya bagikan ke ibu-ibu kelompok. Setelah dibuat dan diramu, ternyata hasilnya, milik kami lebih unggul.
Yeta Angelina
KOMENTAR