Kenapa Anda tertarik dengan animasi?
Awalnya, sejak SD di Malang, Jawa Timur, saya suka menggambar, membuat karakter, lalu ketagihan dan ikut lomba. Saya juga bikin cerpen, bikin komik Doracemot, plesetan dari Doraemon. Waktu SMP, saya juga sering ikut kompetisi. Pertama kali ikut lomba, saya langsung juara I, dari situ jadi ketagihan.
Saat itu saya juga pernah bikin komik khusus untuk perempuan yang saya taksir, tapi ditolak. Komiknya saya minta balik. Sayang, kan, sudah capek-capek bikinnya. Sekarang dia pasti menyesal karena pernah menolak saya. Ha ha ha.
Di SMA, saya mulai terjun ke desain. Desain pertama saya dihargai Rp 20 ribu. Lumayan, lah.
Orangtua setuju?
Ya, sempat bingung juga, sih. Orangtua, kan, dokter. Pasti ingin anaknya jadi dokter juga. Tapi karena dari awal saya memang takut darah, mereka menyerah. Yang penting, kan, enggak ngerepotin orangtua dan tetap bisa berprestasi.
Apa alasan Anda memilih mendirikan sekolah animasi?
Sebenarnya sudah terinspirasi sejak masih sekolah animasi di Sydney. Waktu itu sebenarnya punya cita-cita ingin bikin film animasi layar lebar. Tapi, saya lalu berpikir, pasti susah mencari orang-orang yang sesuai dengan keinginan. Jadi, saya pikir seharusnya bikin sekolah dengan kurikulum yang saya buat dan sesuai dengan yang saya mau.
Dari sana, saya mulai mencicil membuat kurikulum berdasarkan pengalaman yang saya dapat saat bekerja di Trans TV sebagai creative design dan animator. Dengan menciptakan sekolah, orang yang bisa membuat animasi akan semakin banyak, dan suatu saat animasi pasti akan makin terdengar. Daripada cuma saya yang bikin, nanti yang terdengar cuma nama saya saja.
Modalnya dari mana?
KOMENTAR