Jika ditanya saya berasal dari mana, mungkin bisa dibilang saya adalah orang Indonesia sejati. Ayah, H. Ahmad Tahir (alm.) berasal dari Salatiga, sementara kakek menikah dengan orang Melayu. Sedangkan Ibu, Hj. Rooslila Tahir (alm.), berayah orang Batak dan ibunya berasal dari Pariaman.
Ayah bekerja di TNI AD dan sempat menjabat sebagai Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, sedangkan Ibu aktif berorganisasi. Ibu pernah menjadi anggota DPR RI dan anggota Dewan Kesenian, ia seorang seniman dan wartawati. Beliau banyak bergerak di organisasi perempuan dan aktivis, bahkan punya sekolah di Medan.
Berhubung Ayah tentara, tugasnya pun selalu berpindah-pindah. Saya lahir di Kota Kembang, 15 November 1951, ketika ayah sedang bertugas di Bandung. Tapi, hanya sampai dua tahun di sana, lalu kami sekeluarga pindah ke Jakarta sampai sekarang. Uniknya, saya malah dapat suami, Agum Gumelar, yang asli orang Bandung. Ha ha ha.
Sering Berpindah-pindah
Saya diberi nama Linda Amalia Sari. Linda diambil dari bahasa Spanyol artinya manis. Lalu Amalia artinya anak yang diharapkan beramal baik dalam ilmu, selalu memperhatikan orang yang sedang kesulitan. Dalam falsafah agama, manusia harus banyak membantu orang. Sedangkan Sari artinya inti.
Setiap Ayah berpindah tugas, saya pun ikut pindah sekolah. Enam tahun di SD, ya enam kali pula pindah sekolah. Di usia 5-6 tahun saya sekolah di Roma, Italia ketika Ayah menjadi atase militer di sana. Setahun di sana pindah ke Jakarta di SD Cikini. Baru sebentar di Jakarta, Ayah ditugaskan ke Bandung selama setahun.
Lantaran tahu akan dipindahkan ke Jakarta, sebelumnya kami dipindahkan dulu ke SD Cilacap. Kami dititipkan di rumah Om di daerah Cipete. Tahun 1959, daerah Cipete masih hutan dan gelap. Kami tinggal di Perumahan Deplu. Kemudian, Ibu mendapat rumah di Panglima Polim, yang sampai kini jadi rumah saya bersama keluarga. Lalu kami sekolah di SD Kwitang V, Jakarta Selatan, dekat rumah.
Bagi saya, berpindah-pindah tempat menjadi pengalaman unik sekaligus merepotkan. Makanya, ketika saya dapat suami tentara juga, saya tak mau anak-anak mengalami hal yang sama. Akhirnya anak-anak tetap di satu tempat, cukup saya saja yang berpindah-pindah mengikuti suami.
Dulu, semasa kecil, saya harus melakukan banyak penyesuaian di sekolah yang selalu berpindah-pindah. Dan itu tidak mudah. Makanya, saya jadi tak punya sahabat atau teman baik. Baru kenalan sebentar sudah pindah rumah. Sisi positifnya, saat memasuki dunia organisasi di masyarakat, saya jadi cepat menyesuaikan diri.
Baru di SMP 13 Jakarta saya menemukan sahabat sejati. Pertemanan kami cukup kental, karena merasa senasib seperjuangan. Malah sampai kini, kami rutin bertemu di acara perkumpulan dan arisan. Begitu juga dengan teman-teman di SMA 6 Bulungan Jakarta, sampai kini kami tetap bersahabat.
Meski dulu pernah mengalami masa susah, Ayah adalah sosok yang tekun dan banyak berjuang. Beliau juga seorang guru dan pernah memproklamirkan kemerdekaan di Sumatera. Ayah selalu berjuang, mendidik kami dengan disiplin, dan membantu dalam pelajaran.
Jadi, beliau tak pernah memanggil guru les seperti zaman sekarang. Lucunya, karena kasihan melihat anak-anak, PR sekolah pernah dikerjakan Ayah. Lalu, paginya dijelaskan bagaimana cara penyelesaiannya. Nah, ketika sampai di sekolah, teman-teman bertanya, "Eh, Papa kamu sudah bikin PR, ya?" Dan mereka pun mencontek PR saya. Ha ha ha. Tapi, itu sesekali saja, lho.
Ayah memang sangat berpengaruh banyak dalam pendidikan kami. Jika kami ujian, selalu ditunggui, lalu pulang ujian pun dijemput beliau. Begitu ujian selesai, bersama teman-teman, saya diajak makan gado-gado Purbawisesa oleh Ayah. Untuk ukuran zaman dulu, makanan itu sudah top sekali.
Gemuk & Doyan Makan
Saya anak ke-4 dari 6 bersaudara, dan hanya ada dua anak perempuan. Nah, kepada anak perempuannya, Ayah sangat sayang, terutama saya. Jika semua kakak dan adik tak berhasil minta sesuatu, sayalah yang turun tangan menghadap Ayah. Soalnya saya termasuk anak yang tak pernah minta sesuatu. Misalnya, kami mau pergi beramai-ramai ke suatu tempat tapi tak diberi izin. Lalu saya minta ke Ayah, eh, langsung diberi izin.
Sementara sosok Ibu adalah orang yang aktif berorganisasi. Hal itulah yang menurun ke saya, senang berorganisasi. Rumah kami sudah terbiasa menjadi tempat orang-orang mengadakan rapat.
Ibu adalah Ketua Umum Istri Pajurit Angkatan Darat (Persit). Dulu, istri panglima belum tentu jadi Ketua Persit karena masih dipilih dari seluruh Indonesia. Nah, Ibu terpilih dua kali. Jadi, saya selalu melihat suasana kegiatan ibu-ibu di rumah.
Ibu sangat aktif berorganisasi, memperjuangkan hak-hak wanita. Atau kegiatan seni seperti latihan paduan suara dan tari-tarian. Ada peristiwa lucu yang tak pernah saya lupakan. Bila sedang ada rapat di rumah, saya ikut duduk di ruang tamu. Bukan untuk mendengarkan ibu-ibu rapat, melainkan menunggu kue yang dihidangkan di meja.
(Bersambung)
Noverita K. Waldan
KOMENTAR