Aku memulai perjalanan hidupku menuju Brisbane. Sampai airport di Denpasar, aku bertemu beberapa orang yang juga akan ke Australia. Salah satunya, Troy, yang juga anak Surabaya dan kebetulan satu sekolah denganku. Aku dan Troy cepat akrab. Sebagai langkah awal, tujuanku bersekolah ke QUT (Queensland University of Technology).
Hasil ngobrol dengan Troy, rupanya dia sudah mendapat home stay, tempat menetap di Australia. "Yang punya rumah orang Italia yang sudah lama menetap di Brisbane," kata Troy. Aku malah belum tahu mau tinggal di mana. Sampai hari keberangkatan, aku belum dapat tempat tinggal. Meski begitu, aku tetap tenang-tenang saja.
Sampai di QUT, aku duduk-duduk di tempat mahasiswa berkumpul, untuk proses tinggal di Australia. Ternyata, Troy dijemput ibu asuhnya, seorang single mother asal Italia bernama Gabriella. Aku sempat berkenalan dengannya. Dari situlah Gabriella tahu, aku belum dapat tempat untuk menginap. "Aku masih punya kamar kosong. Kalau bersedia, silakan tinggal di rumah," kata Gabriella.
Pucuk dicinta ulam tiba, tentu saja aku menyambut gembira ajakan Gabriella. Aku menginjakkan kaki di rumah Gabriella dengan perasaan senang. Gabriella punya tradisi menarik. Setiap makan malam, kami harus bersama-sama. Di meja makan, kami biasa mengobrol apa saja. Sangat bagus untuk melatih bahasa Inggrisku, sekaligus mempraktikkan hasil kursus.
Awal tinggal di sana, aku memang masih mengikuti kursus bahasa. Ternyata, tak semudah yang kubayangkan. Orang Australia itu punya aksen yang berbeda dengan orang Amerika.
Tahun 1996, aku mulai menjalani masa pra universitas. Program ini kutempuh karena nilai raporku kurang memenuhi standar kualifikasi. Saat itulah ketertarikanku berubah. Orangtua maunya aku masuk Teknik Mesin, sedangkan aku lebih tertarik dunia bisnis. Setelah kompromi dengan orangtua, akhirnya aku masuk jurusan akuntansi.
Dari QUT, aku ambil Diploma Acccounting di TAFE College. Lalu, melanjutkan S1 di Marketing CQU (Central Queensland University). Total, aku enam tahun tinggal di Australia. Aku pulang ke Indonesia tahun 2002.
Pemetik Buah
Tentu banyak pengalaman menarik selama tinggal di Brisbane. Salah satunya, saat aku harus belajar mencari uang sendiri. Ketika liburan, aku memilih bekerja sebagai pemetik buah. Ceritanya, saat musim panen, serikat pekerja di sana menawarkan untuk kerja sampingan. Aku tahu informasi itu dari teman mahasiswa. Aku tertarik ikut.
Aku dan teman-teman yang ikut tinggal di kebun buah di pinggiran Brisbane. Banyak juga, kok, yang ikut, termasuk teman-teman dari negara Asia lainnya. Kami tidur di rumah yang mirip motel. Wah, asyik sekali melihat panorama yang indah.
Sebelumnya, aku diajari teknik memetik buah yang benar. Salah satunya, harus pakai sarung tangan. Sambil pakai celemek, aku pernah ikut memetik buah antara lain aprikot dan apel. Selama dua minggu jadi pemetik buah, hasilnya lumayan juga. Upahnya, kan, standar per jam 150 dolar Australia. Sehari bisa 6 jam petik. Kalikan saja, lumayan, kan? Sebelum matahari terbenam, pekerjaan selesai.
KOMENTAR