Sejak kapan Anda bekerja di Dancow Nestle?
Sudah 8 tahun saya di Nestle, mulai dari 2001 jadi Marketing Project Specialist, masih mengerjakan produk yang kecil-kecil. Lalu, 2003 jadi Leader Brand Activation untuk Nestle, kemudian akhir 2005 pindah ke Dancow, 2007 akhir jadi Brand Manager Nestle Dancow All Family sampai sekarang.
Apa latar pendidikan Anda?
Wah, kalau dikasih tahu pasti kaget. Saya sarjana kimia dari ITB. Ha ha ha...
Berarti gelar Anda tidak terpakai ya?
Cita-cita saya malah pengin jadi dokter, tapi, kok, ingin masuk ITB yang kuliahnya ternyata lebih berat. Tapi, karena waktu kuliah aktif di organisasi, masuk tim basket, himpunan mahasiswa, maka dari sisi marketing sudah dapat.
Bagaimana Anda mulai menggeluti dunia marketing?
Kebetulan, di tempat kerja yang lama, saya menjadi marketing area yang tugasnya selalu ke luar kota, kerjanya pindah-pindah terus, enggak pernah di rumah. Setelah menikah dengan suami, Adhika Caksana, kayaknya enggak mungkin kerja di sana terus, akhirnya saya pindah.
Waktu pertama kali bekerja setelah lulus kuliah, saya diterima bekerja menjadi product specialist. Kerjanya ya berhubungan dengan dokter. Nah, ketika pindah ke Sampoerna, saya menjadi marketing trainee, di tempat inilah saya mengenal masalah seputar marketing, baru kemudian ke Nestle.
Jadi, dunia marketing menarik bagi Anda?
Betul. Di dunia marketing saya bisa belajar semuanya, enggak hanya memikirkan brand nya saja, tapi memikirkan keseluruhan. Bagaimana membuat sebuah brand itu hidup terus harus kreatif, apakah harus dikasih sesuatu yang menarik, aktivitasnya bagaimana, komunikasinya juga. Saya harus tahu banyak tentang konsumen, maunya mereka apa, kalau anak-anak seperti apa, sih, maunya.
Apa saja suka dan dukanya?
Kalau dari sukanya, Dancow, kan, akarnya dari Nestle, sebuah perusahaan yang mempunyai visi bagus. Visi mereka adalah bagaimana caranya agar masyarakat Indonesia itu menjadi lebih sehat. Begitu juga visi di Dancow, anak-anak yang menjadi harapan bangsa Indonesia harus memiliki gizi yang bagus supaya di masa depan mereka menjadi generasi yang lebih baik. Saya merasa segala aktivitas yang dijalankan di sini menuju visi yang seperti itu, baik dari sisi komunikasi dan promosi. Berarti saya juga berperan serta membentuk masyarakat Indonesia yang lebih baik.
Lalu, dukanya?
Oleh karena brand-nya besar, pekerjaannya pun banyak, jadi susah bagi waktu dengan keluarga. Kadang harus pergi ke luar kota beberapa lama, jadi jarang ketemu kedua anak saya, Alya Zahira (8) dan Ariq Zaidan (4). Kalau Sabtu-Minggu ada event, saya suka kasihan membawa anak-anak karena mereka harus menunggu saya kerja. Biasanya kalau acaranya sudah selesai, baru mereka dipanggil.
Dancow, kan, identik dengan anak-anak. Citra itu juga melekat pada Anda, dong?
Produk yang saya pegang sasarannya adalah anak-anak yang sudah besar, usia 6-12 tahun. Jadi, bukan hanya ibunya saja yang diperhatikan, tapi juga harus mempertimbangkan anak-anaknya. Apa, sih, maunya anak-anak seusia itu, komunikasinya seperti apa. Sementara untuk anak-anak yang lebih kecil komunikasinya memang ke ibu. Kami partner ibu dalam membantu perkembangan anaknya.
Ada cerita menarik?
Kami selalu melakukan kunjungan, baik ke masyarakat golongan atas, menengah, atau bawah. Pernah sekali waktu ke daerah pelosok di Purwakarta, Saya beserta tim melihat masyarakat menengah ke bawah. Kalau dihitung dari segi pendapatan mereka enggak punya banyak uang. Tapi, mereka punya balong (kolam) berisi ikan.
Nah, pas makan siang kami diajak ke balong itu, ternyata kami disuguhi makanan dari balong itu. Ternyata, meski kurang mampu, tapi mereka masih mau memberi servis ke kami. Begitu juga ketika ke daerah Tebet, ada keluarga yang anaknya masih kecil-kecil mengeluhkan masalah keluarganya. Si istri takut suaminya selingkuh. Kami jadi tempat curhat mereka. Hahaha.
(Bersambung)
Noverita K. Waldan
KOMENTAR