Ceritakan, dong, pernah enggak membayangkan jadi penyiar?
Dulu saya orangnya "membingungkan". Hahaha. Teman-teman SMA 70 Bulungan enggak menyangka saya bisa jadi presenter. Karena saya bandel. Padahal saat SD, SMP selalu masuk 5 besar. Di SMA turun karena banyak main. Untung pas kuliah semangat lagi. Saya pilih Fakultas Ekonomi karena pekerjaan apapun ujungnya ke ekonomi. Awalnya di sebuah universitas swasta di sini, lalu pindah ke Malaysia. Yang menarik karena di sana bahasa Inggrisnya seru banget.
Anda sangat fasih berbahasa Inggris, ya?
Saya sempat tinggal di Amerika dari usia 3 sampai 7 tahun. Kebetulan Ayah kuliah di Amerika. Nah, selama itu kami berbahasa Inggris. Makanya ketika pindah ke Aceh dan masuk sekolah negeri, saya enggak bisa bahasa Indonesia. Lalu, pernah kena semprot guru gara-gara bilang "kamu" ke guru. Namanya juga anak kecil, akhirnya saya disetrap. Saya pun belajar bahasa Indonesia lagi waktu pindah ke Jakarta.
Sejak kapan Anda bergabung dengan Metro TV?
April 2007. Pertama kali membawakan acara Headline News. Saya memulai karier sebagai presenter internasional. Wah, begitu diterima saya berharap bakal bisa ke luar negeri. Ternyata salah besar. Hahaha. Tapi sebenarnya, saya tertarik karena pasti saya bisa memperluas wawasan.
Beberapa bulan setelah itu ada penerimaan presenter, saya pun mendaftar. Suatu hari saya ditelepon disuruh masuk jam 12 malam membawakan acara Headline Malam. Tentu saja saya kaget karena belum pernah siaran malam. Waktu itu, enggak ada orang lain kecuali saya. Pokoknya saya juaranya gantiin orang, deh. Hahaha.
Grogi banget, waktu di studio harus di make-up dulu, rambut pakai gel segala. Sebelum tayang, saya baca berita sampai berulang-ulang, hingga detik terakhir mengharap ada yang gantiin. Anehnya, begitu di depan kamera, malah pasrah, ternyata enggak grogi sama sekali. Semua berjalan lancar. Meskipun setelah acara selesai keringatan. Hahaha. Tapi saya senang karena sebagai latihan.
Setelah beberapa kali bawa acara, barulah membawakan acara dengan durasi setengah jam, Indonesia This Morning. Percaya enggak, itu juga menggantikan teman yang sakit. Haha.
Apa saja suka dukanya?
Di acara Metro Pagi, semua presenter munculnya barengan, kami harus cepat tanggap, jangan sampai ada waktu kosong. Yang agak susah itu soal kerapihan, apalagi pas awal dulu, pembagian tugasnya belum pas. Ada yang kebanyakan bicara, yang lain diam. (Bersama 6 presenter lain, Tommy Tjokro, Prabu Revolusi, Cheryl Tanzil, Prita Laura, Aviani Malik, dan Marissa Anita, Tim bahu membahu membuat acara jadi menarik).
Kami mendapatkan complain terbesar masalah itu. Makanya kami harus mengakrabkan dengan masing-masing presenter untuk membangun chemistry-nya. Setelah siaran, kami rapat, mengatakan terus terang apa yang tidak disukai. Misalnya, ada yang terlalu banyak bicara.
Menurut Anda, bagaimana karakter Anda di teve?
Kata teman-teman karakter saya suka menyindir. Tapi malah dinilai bagus. Pernah di acara, Pak Susno (Susno Duadji) menangis. Lalu saya tanggapi, "Kalau polisi suka dibilang buaya, menangis itu air mata buaya, dong?" Hahaha. Atau ketika membahas AC yang bisa mematikan virus, saya tanggapi, "Semoga ada juga AC yang bisa mematikan virus korupsi."
Nah, akhirnya sekarang saya disuruh terus mempertahankan hal tersebut untuk menghidupkan suasana. Tanggapan itu keluar dengan sendirinya dari kepala tanpa ada konsepnya. Bayangkan saja, ketika saya menerima omongan dari presenter lain, enggak mungkin diam. Kadang muncul di detik terakhir juga. Pernah juga bengong atau blank enggak ngerti mau omong apa. Ada 3 menit tersisa, harus cepat ambil ide, misalnya baca berita di koran. Bisa juga langsung baca berita saja. Semuanya harus cepat dan belajar dari kebiasaan, jadi terbiasa dengan situasi seperti itu.
Tampaknya Anda sangat menikmati pekerjaan Anda, ya?
Saya suka, meskipun sulit ya membuat orang tertarik ngomongin politik pagi-pagi. Padahal, latar belakang saya bukan dari pendidikan jurnalistik atau broadcasting. Saya, kan, lulusan sekolah bisnis ekonomi di Malaysia. Dunia jurnalistik membuat saya tahu semuanya karena bertemu masalah ekonomi, politik, sosial. Apalagi kalau sudah wawancara mulai dari orang kehilangan anak sampai politikus tinggi.
(Bersambung)
Noverita K. Waldan
KOMENTAR