Seperti apa kesibukan Anda sekarang?
Sekarang saya rutin menulis kolom di Sriwijaya Pos (Sumatera Selatan), menjadi narasumber untuk sesi karier dan pengembangan diri di sebuah majalah, memberi training dan outbond, juga rutin menjadi pembicara talkshow dan seminar. Mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti juga merupakan kewajiban saya yang lain.
Bagaimana ceritanya sampai 'kecemplung' di dunia motivasi?
Awalnya, saya melihat mahasiswa sekarang motivasinya lebih rendah dibanding zaman saya dulu. Apalagi saya mengajar di universitas swasta yang kebanyakan mahasiswanya notabene anak orang punya duit. Kegigihan mereka untuk belajar dan bekerja keras juga kurang. Akibatnya saya berpikir, saya memotivasi mereka supaya mereka mampu menyelesaikan kelas saya dengan nilai baik. Lalu saya coba memotivasi di lingkungan luar kampus dengan membuat perusahaan konsultan akhir 2005. Awalnya saya memotivasi guru-guru karena mereka bagian yang betul-betul penting dalam pengembangan SDM di Indonesia. Ternyata responnya bagus, 2007 saya sempat memberikan training untuk 20 ribu lebih guru di Sumatra Selatan. Setelah saya motivasi, saya melihat ada perubahan, mereka jadi lebih semangat. Guru, kan, biasanya hanya datang terus mengajar. Setelah saya motivasi, mereka jadi semangat untuk berkembang. Misalnya ikut lomba ilmiah. Ternyata memotivasi itu enggak sulit.
Apa sih yang membuat orang jadi kurang termotivasi?
Saya lihat mereka karena kurang informasi. Tidak terlalu menuntut prestasi, jadi mereka merasa cukup segini aja, apalagi di daerah terpencil. Kalau mahasiswa yang kurang motivasi itu biasanya karena segala sesuatu sudah disediakan oleh orangtuanya. IP hanya 1,9 padahal ke kampus naik mobil. Apa sih yang kurang? Ternyata yang kurang adalah tidak adanya orang yang bisa memicu semangatnya. Mereka juga enggak tahu apa tujuan hidupnya. Itu yang paling penting, target akan ada kalau mereka punya tujuan.
Ada yang datang sendiri dan mengeluh karena kurang motivasi?
Ya sering, selain itu juga ada yang lewat SMS, telepon, email. Saya selalu berusaha jawab walaupun kadang butuh waktu lama.
Kesan pertama bertemu Anda, Anda sangat percaya diri dan bersemangat.
Ya, inilah saya. Saya menjadi pribadi yang seperti ini pertama karena saya anak tertua. Didikan orangtua saya keras, adik saya enam. Pengalaman hidup membuat saya menjadi seperti ini, saya melihat orangtua jatuh bangun berkali-kali, ini yang membuat saya yakin kalau kita mau berjuang, kita hanya bisa mengandalkan diri sendiri.
Dari memotivasi, lahirlah buku 8 Kekuatan Keunggulan Diri. Bagaimana proses penulisannya?Buku itu muncul setelah saya memberikan training dan outbond di beberapa tempat, yang pertama saya temukan itu rendahnya etika. Etika dan moral kita mulai merosot. Kenapa orang mulai tidak termotivasi? Tiap orang sebenarnya punya kemampuan tapi mereka tidak tahu bagaimana memanfaatkan kemampuan dan bagaimana mengasahnya. Itu yang saya coba gali. Dari setiap materi training saya muncul pertanyaan dan masukan, setiap kasus yang ada saya kumpulkan dan proses penulisan itu berlangsung sejak 2006 sampai awal 2008. Jadi bisa dibilang, perpaduan antara observasi informal yang saya lakukan, kasus yang saya temui, juga teori yang ada dan fakta di lapangan.
Dalam sebulan buku itu jadi best-seller, apa ini juga jadi indikasi kalau banyak orang yang merasa kurang motivasi?
Saya rasa begitu. Kita haus motivasi sebenarnya. Mereka butuh sesuatu untuk mengingatkan mereka kembali. Yang mereka butuhkan adalah bahasa yang singkat, lugas, dan populer.
8 Kekuatan Keunggulan diri, apa saja sih?
Yang pertama itu etika. Manusia, kalau enggak punya etika maka dia enggak punya tuntunan hidup. Yang kedua, bagaimana kita bisa menjadi manusia unggul secara emosional. Kalau kita sukses, artinya kita mengendalikan emosi kita dengan baik. Hasil riset mengatakan, orang sukses itu dipengaruhi 94 persen oleh cara mereka mengelola soft skill-nya, bukan intellectual skill. Setelah emosi, saya bawa mereka ke integritas. Dari integritas saya masukkan ke intuisi, lalu leadership, motivasi, komunikasi, dan kreativitas. Semuanya ada dalam diri kita sendiri, kita tinggal menggali.
Bagaimana proses penggalian Anda sendiri sampai bisa jadi motivator?
Saya enggak pernah mimpi jadi pengajar atau motivator, dulu saya selalu bercita-cita menjadi profesional atau pengusaha. Dan pencarian saya lama sekali, saya mengalami jatuh bangun dalam hidup. Suami saya pernah ditipu milyaran, kegagalan pernikahan pertama saya, sulitnya hidup di Jakarta, lalu bekerja dengan orang lain, ternyata enggak nyaman diperintah-perintah. Motivator yang jalan hidupnya mulus tanpa tantangan enggak akan bisa memberikan sesuatu pada orang lain. Mereka tidak pernah merasakan sulitnya hidup untuk bisa merasakan pendengarnya, apa yang mereka butuhkan.
Anda juga menderita kanker payudara. Apa pengaruhnya terhadap hidup Anda?
Enggak ada. Saya bahkan enggak pernah memikirkannya sedetikpun. Saya tetap berobat, melakukan terapi, dan saya percaya kapan saja kematian bisa datang. Yang saya lakukan adalah membuat hidup saya bahagia, dan menikmati apa yang saya kerjakan.
Apa benar para motivator itu selalu termotivasi dan enggak pernah putus asa?
Salah. Ada saatnya motivator itu mengalami titik jenuh. Nah pada saat itu saya pernah satu minggu enggak mau ngapa-ngapain. Saya juga bukan robot. Jadi kalau tiba di titik itu biasanya saya libur seminggu. Motivator juga bukan superman.
Pernah ada kasus harus memberikan motivasi disaat sedang 'down'?
Pernah suatu kali suami saya kena demam berdarah, waktu itu trombositnya hanya 15 ribu. Saya harus ke Surabaya memberi motivasi padahal suami saya setengah enggak sadar. Saya izin pada suami 'Ayah, saya harus ke Surabaya karena sudah janji, semua sudah disiapkan. Kalau ada apa-apa gimana?' Suami saya bilang 'Saya ikhlas' dan saya pun berangkat. Waktu itu suami saya sakit di Palembang, saya berangkat pakai pesawat pertama ke Surabaya bercucuran air mata, memberi motivasi dalam keadaan dilema, lalu saya langsung terbang lagi ke Palembang.
Anda berhasil memotivasi ribuan orang. Bagaimana dengan putra-putri Anda sendiri?
Lebih sulit. Saya punya 5 anak dengan kepribadian yang berbeda-beda, jadi cara memotivasinya juga berbeda-beda. Tapi mereka juga terbebani dengan punya ibu motivator yang jadi panutan banyak orang, jadi ada positifnya juga.
Menjadi satu dari sedikit motivator perempuan di Indonesia, merasa terbebani enggak?
Menurut saya itu bukan beban, justru peluang. Tapi itu memang memberi keuntungan buat saya sebagai perempuan yang lebih mudah melakukan pendekatan sama ibu-ibu. Posisi perempuan itu penting sekali, terutama sebagai ibu. Keberhasilan anak manusia kan ditentukan oleh ibunya. Sentuhan kasih sayangnya yang bisa memotivasi suami, di sisi lain ibu juga yang bisa menghancurkan suami. Misalnya dengan mulai 'Pah, itu tetangga beli rumah baru, kita kapan?'.
Kesibukan terakhir?
Saya sedang menulis buku kedua, masih tentang motivasi dan etika tapi khusus untuk remaja. Targetnya akhir tahun terbit.
SITA DEWI
KOMENTAR