Bisa diceritakan bagaimana Anda bergabung dengan Dompet Dhuafa (DD)?
Awalnya, tahun 2004 saya mendaftar untuk jadi relawan. Saat itu DD lagi butuh relawan untuk program Sekolah Ceria, sekolah anak-anak korban tsunami di Aceh. Tapi saya malah diminta jadi trainer bagi guru relawan.
Saya memang punya sekolah TK di rumah. Jadi guru sekaligus kepala sekolah. Saya juga punya sanggar anak. Saya juga kerap mendongeng di sekolah atau saat pesta ulang tahun. Mungkin karena itulah saya terpilih jadi trainer.
Boleh tahu apa sih, latar pendidikan Anda dulu?
Dulu saya kuliah di Institus Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, mendalami pertunjukan teater. Waktu awal mendirikan TK, saya nyambi jualan kerupuk keliling dan nasi aking makan bebek. Hasilnya untuk menutupi operasional TK.
Tugas pertama di bencana besar. Bagaimana perasaan Anda waktu itu?
Itu pengalaman yang memacu andrenalin. Pertama, tsunami Aceh adalah bencana besar. Kedua, Aceh adalah daerah konflik. Ketiga, saya tiga bulan enggak pulang. Dari situ saya belajar bahwa saya harus total. Syukurlah, begitu jadi relawan, saya langsung terjun ke bencana yang sangat besar.
Jadi, ketika menangani bencana-bencana berikutnya, saya sudah berpengalaman. Kami selalu mulai dari penanganan anak-anak. Anak-anak adalah ujung tombak yang lebih ampuh dibanding datang membawa bantuan.
Maksudnya?
Kalau kita bawa bantuan, magnetnya memang luar biasa. Para korban menyerbu dengan penuh semangat. Tapi setelah itu habis. Tapi kalau kita datang atas nama pendidikan anak, mereka melihatnya dari kacamata yang lain. Anak akan jadi lokomotif. Gerbong berikutnya akan menyusul bantuan medis, logistik, dapur umum, recovery, rekonstruksi, sampai pemulihan ekonomi. Makanya, ketika masuk lokasi bencana, anak dulu yang kita "pegang" sebagai modal utama masuk lokasi bencana.
Sebetulnya, apa posisi Anda di DD?
Posisi saya sebetulnya adalah Koordinator Disaster Program. Sebagai koordinator, saya harus selalu masuk ke lokasi bencana saat awal kejadian, tak peduli bagaimana caranya. Kurang dari 20 jam saya harus tiba di lapangan. Sampai sana saya harus segera menentukan titik aksi, apa yang akan kami lakukan, termasuk merekrut para relawan.
Bagaimana kesulitan menembus lokasi bencana saat pertama kejadian?
Terkadang sangat sulit, biasanya faktor utamanya jarak. Waktu gempa Sumbar, tiket pesawat tidak ada, bandara ditutup. Saya akhirnya ke Padang ikut menumpang pesawat Hercules TNI yang pertama berangkat setelah gempa. Saya akhirnya bisa berangkat pukul 09.00 pagi. Wartawan saja tak ada yang tembus. Buat saya, selama keringat darah belum keluar, berarti masih ada harapan.
Apa yang Anda lakukan sesampai di lokasi bencana?
Langsung memetakan area, merekrut relawan, menyebarnya ke lapangan, serta menentukan tugas mereka. Saya sendiri masih dikontrol Direktorat Program DD di Jakarta.
Mengapa anak-anak jadi target utama?
Karena mereka lebih fleksibel dan netral. Setelah beberapa saat berhasil "memegang" anak-anak, kami ajak mereka untuk melakukan sesuatu seperti salat berjamaah, makan, dan membagi bantuan dengan tertib tanpa rebutan. Kami memberikan penyuluhan anak-anak korban bencana dalam bentuk dongeng. Orangtua pun ikut mendengarkan.
Lokasi bencana mana saja yang anak-anaknya pernah Anda tangani?
Aceh, Sulawesi, lumpur Lapindo Sidoarjo, Bengkulu, Tasik, dan sebagainya. Di beberapa tempat saya jadi guru tamu untuk memberikan pengetahuan tentang bencana gempa dan bagaimana pola penyelamatan. Anak-anak kita ajari untuk tidak takut terhadap gempa, melainkan waspada.
Apa tantangan terberat ketika merangkul anak-anak di lokasi bencana?
Orangtua. Proteksi mereka masih tinggi. Pada hari pertama datang, kami harus bisa meyakinkan mereka bahwa kami bermaksud baik. Caranya, ya tidur bersama mereka di tenda pengungsian sejak hari pertama, merasakan hidup bersama mereka. Di Cianjur saat gempa di sana, misalnya, baru hari kedua saya berhasil merangkul anak-anak.
Pendekatan tiap daerah berbeda. Saat di Manokwari, Papua, misalnya, pendekatannya cukup sulit karena kendala bahasa. Jadi, saya berpantomim.
Mengapa Anda pilih mendongeng sebagai cara untuk mendekati anak-anak korban bencana?
Buat saya, dongeng adalah jembatan imajinasi anak-anak yang pengaruhnya luar biasa. Ketika kita bisa mengarahkannya, itu adalah kesempatan kita untuk "masuk". Misalnya, ketika anak-anak sedang gandrung karakter Spongebob, saya akan menirukan suara karakter itu ketika mendongeng (Iman lalu menirukan suara beberapa karakter dalam film animasi Spongebob, Red.).
Bagaimana reaksi mereka saat Anda mulai mendongeng?
Alhamdulillah, mereka langsung pelan-pelan mendekati, dan jadi akrab. Bahkan, anak-anak korban bencana di Aceh, Bengkulu, Situbondo itu sampai sekarang masih menjalin kontak dengan saya, ada yang sekarang sudah SMA. Anak-anak dan orangtua korban bencana Situ Gintung selalu memberi saya oleh-oleh untuk dibawa pulang, tiap kali saya datang. Kalau Anda menyerukan kata "Adik-adik!" , lalu mereka menjawab "Siap!". Itu berarti saya pernah datang ke situ.
Dongeng apa saja yang Anda ceritakan?
Yang paling sering antara lain dongeng tentang film kartun, fabel, dan dongeng tentang perjalanan saya sendiri menuju ke lokasi bencana. Saya kumpulkan anak-anak, lalu saya gambar pulau Jawa dan Sumatera. Saya banyak mengarang sendiri dongeng saya, jumlahnya mungkin sudah ratusan. Teman-teman minta saya membukukan dongeng itu, tapi saya enggak ada waktu.
Setelah anak-anak dekat, barulah saya cerita tentang kehidupan mereka sendiri, dan menyangkutkannya dengan bencana yang terjadi. Misalnya, ketika mereka menangis minta bantuan, saya jelaskan bahwa bantuan dan mainan bisa habis, yang tidak bisa habis adalah saudara dan pahala.
Apakah pemulihan mental anak-anak yang Anda lakukan berhasil?
Hasilnya baru akan terlihat setelah dua minggu. Pada saat itu, saya akan mengundang psikolog untuk hadir dan ikut menilai. Sebelumnya, saya tanamkan terus ketegaran di pikiran dan hati anak-anak, sampai akhirnya mereka betul-betul paham pada siapa mereka bisa meminta. Kalau sudah begini, orangtua pasti juga akan malu kalau menuntut bantuan ini-itu dan mencerca pemerintah.
Sebab, biasanya ketika saya mendongeng, orangtua ada di sekitar mereka dan ikut mendengarkan. Nah, di sinilah saya mulai "masuk" mendekati orangtua, mengajak mereka bangkit. Sebab, bantuan paling lama berlangsung selama tiga bulan, setelah itu habis.
Pernah dicueki anak-anak ketika mendongeng?
Pernah. Waktu itu saya sedang mendongeng di depan sekitar 1.200 anak di acara yang diadakan Ikatan Guru Taman Kanak-Kanak di TMII. Waktu sedang asyik mendengarkan dongeng saya, konsentrasi anak-anak bubar gara-gara penjual balon, kuda-kudaan dan mainan lain pada lewat. Kalah deh, saya. Haha...
Sampai kapan akan terus mendongeng untuk anak-anak?
Saya akan terus menjalani peran ini, sampai akhirnya Tuhan menilai saya sudah tidak mampu.
Omong-omong, ketika berada di lokasi bencana, bagaimana survival diri Anda sendiri, mengingat di sana pasti minim fasilitas?
Ketika saya di lokasi bencana di Bengkulu, kondisinya lebih "ngeri". Bahkan MCK tidak ada, tapi saya harus beradaptasi dengan para korban. Saya tidur bersama mereka di pengungsian. Apa yang mereka makan, saya makan. Dengan begitu, saya tahu betul apa yang mereka rasakan dan butuhkan. Tanpa kita korek, mereka akan terbuka sendiri pada kita. Dan dengan sendirinya, akan terbentuk dapur umum komunitas para korban. Acara masak bareng para ibu-ibu ini yang membuat para korban saling curhat dan bercanda. Ini bagian dari pemulihan psikis.
Anda pasti lama dong, di lokasi bencana. Bagaimana dengan anak-istri?
Saya bersyukur istri, Ery Setyowati memahami pekerjaan saya. Begitu di teve melihat ada bencana, dia langsung menyiapkan pakaian saya di tas. Karena dia yakin, saya pulang ke rumah hanya untuk mengambil pakaian dan mencium kening istri dan dua anak kami. Kalau sedang ada bencana, di rumah saya paling hanya 7 hari dalam sebulan.
Waktu gempa di Padang tahun 2003, istri memberitahu Adib, anak kami, sakit. Tapi karena sudah dibawa ke dokter, saya agak tenang. Baru setelah Adib masuk ICU, istri memberi kabar. Malam itu juga saya berangkat ke Jakarta, tidak peduli berapa pun harga tiket pesawat. Sampai di rumah sakit saya nangis, anak saya tidak boleh ditemani siapa pun di ICU, tubuhnya penuh selang dan infus di tangan-kaki.
Saya hanya berdoa, kalau saya teledor karena memikirkan orang lain, semoga Tuhan yang memikirkan anak saya. Alhamdulillah, tak lama di ICU kondisinya membaik.
Anak-anak saya juga memahami pekerjaan saya, malah bilang ingin seperti saya. Pada mereka dan istri, saya selalu tekankan bahwa banyak anak dan istri di lokasi bencana yang tidak bisa bertemu ayah dan suaminya lagi karena sudah meninggal, tapi keluarga saya akan bertemu saya lagi dalam beberapa minggu, dan selalu mendengar suara saya lewat telepon saat di lokasi bencana.
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR