Sejak kapan Anda menekuni bidang olahraga?
Sekitar tahun 90-an saya bertemu dengan seorang wartawan Tabloid Bola di New York. Ketika itu saya bilang ke wartawan itu kalau saya juga suka menulis. Terus wartawan itu bilang agar saya mengirimkan tulisan.
Kemudian, ketika saya berlibur dengan keluarga di kawasan Philadelphia saya ketahui Riddick Bowe sedang latihan tinju menjelang pertandingannya mempertahankan gelar juara dunia. Saya mulai mencari-cari informasi keberadaan Riddick Bowe.
Ketemu tempat latihannya! Hati saya benar-benar senang sekali, saya pun mulai mencari cara untuk mencari cara untuk bisa mewawancarainya. Lupa deh sama liburan keluarga. Kebetulan salah satu anggota tim Riddick itu bernama Karim Muhammad. Saya kemudian menegur Karim dengan salam sesuai agama Islam. Saya katakan keinginan saya itu dan ternyata bisa dibantu untuk menemui Riddick Bowe. Saya pun dapat kesempatan wawancara selama lima menit.
Bagaimana perasaan Anda bisa bertemu dengan atlet kelas dunia, terlebih ketika itu Anda baru saja menjadi wartawan?
Gemetar. Tapi semuanya bisa saya jalani dengaan sukses. Usai wawancara saya kabarkan kantor di Jakarta. Langsung kantor redaksi heboh. Apalagi saya dapat wawancara itu hari Jumat, bertepatan dengan deadline redaksi dan esoknya yakni Sabtu, Riddick Bowe akan bertanding mempertahankan gelar juaranya. Saya seperti dapat durian runtuh! Bisa dibayangkan, tulisan perdana seorang koresponden lepas junior bisa jadi headline.
Setelah itu?
Saya mulai berpikir untuk menulis sesuatu yang benar-benar menjadi keahlian saya. Pertimbangannya banyak saat itu saya akan menulis tentang olahraga apa. Saya lalu mulai fokus pada olahraga basket. Tahun 94, saya dapat kolom tetap untuk basket. Sejak itu pula, orang mulai mengenal saya sebagai penulis basket.
Menembus NBA awalnya susah, saya juga kerap dapat penolakan wawancara. Tapi saya nekat, saya terus usaha. Sampai pernah saya bawa tumpukan Tabloid Bola ke sebuah klub basket untuk menunjukkan pada mereka bahwa saya benar-benar wartawan. Dan, tabloid saya ini dibaca oleh jutaan orang di Indonesia, tabloid itu juga satu-satunya yang membahas olahraga dan Basket NBA. Sejak itu, saya diterima dengan baik oleh mereka bahkan berteman dengan pemain-pemain NBA.
Ada pengalaman menarik selama meliput NBA?
Karena saya kemudian dapat akses sampai ke locker room (ruang ganti. Red.) pemain, saya benar-benar bertemu dengan para pemain NBA face to face. Saya harus bisa memisahkan saya yang wartawan dengan penggemar mereka. Yang biasanya melihat mereka hanya lewat layar televisi. Ha ha ha.
Kembali ke belakang sedikit, sebenarnya apa yang Anda lakukan di Amerika?
Saya ke Amerika sebenarnya akibat frustasi setelah usaha saya ambruk di tahun 86. Di Amerika saya coba memulai kembali hidup saya. Untuk menyambung hidup, apa saja saya kerjakan yang penting halal. Mulai dari tukang cuci piring sampai kemudian jadi wartawan itu.
Beberapa hari awal tinggal di Amerika, saya kerap menangisi nasib di malam hari. Sampai kemudian saya tersadar dan mengubah jalan hidup saya. Satu yang saya pelajari adalah untuk dihormati kita harus bisa menghormati orang. Ceritanya pada suatu malam saat saya bekerja sebagai tukang cuci piring, saya dipanggil manager restoran itu untuk bergabung dengannya dan rekan-rekan lain.
KOMENTAR