Sejak kapan, sih, Anda suka menulis?
Sebenarnya sudah sejak SD saya suka menulis cerpen. Anehnya, cerpen yang saya bikin selalu hilang setelah saya taruh di laci belajar saya. Saya sampai marah-marah tapi tidak ada orang di rumah yang tahu. Salah satu cerpen yang selamat, saya kirimkan ke Majalah Kawanku dan dimuat. Judulnya Prasangka.
Bukannya dapat pujian, saya malah dimarahi Mama, Nina Pane. Katanya, "Ngapain kamu nulis cerpen begitu." Dimarahi seperti itu, saya tentu saja takut. Sempat saya berhenti menulis. Meski begitu, terkadang saya curi-curi waktu bikin cerpen, meski terus saja hilang tanpa ketahuan rimbanya. Semasa SMA, satu cerpen lagi berhasil selamat dan ketika saya kirim di Majalah Mode, ternyata dimuat juga.
Kenapa, sih, Mama melarang Anda menulis. Padahal, beliau, kan, pengarang kenamaan?
Mama memang penulis novel (Nina Pane Budiarto termasuk novelis kenamaan yang karyanya sering diangkat di layar kaca, misalnya Serpihan Mutiara Retak. Ia juga penulis skenario film andal, Red). Opung saya, Sanoesi Pane dan Armijn Pane, juga dikenal sebagai pujangga di masanya. Namun, Mama tidak suka saya jadi penulis. "Kamu jangan suka menulis karena jadi penulis itu hanya ada dua kemungkinan yaitu miskin atau gila."
Wah, seram juga peringatan Mama. Kebetulan, dari tiga bersaudara yang semuanya lelaki, saya anak nomor dua, hanya saya yang suka menulis. Mama melarang saya mungkin karena berdasarkan pengalaman pribadi, suka menyendiri saat keinginan menulis muncul. Bila mood menulis muncul, Mama suka lupa anak. Enggak mau diganggu. Nah, Mama tidak mau saya seperti itu.
Anda tidak protes?
Tidak. Saya tahu, semua itu demi kebaikan saya. Namun, saya suka bandel juga. Waktu kuliah di Desain Grafis, Universitas Udayana, Bali, saya pernah menulis novel. Saya bebas menulis karena jauh dari orangtua yang tinggal di Jakarta. Waktu zaman top-topnya Hilman dan Zara Zettira ZR itu, saya menyelesaikan satu novel berjudul Mengukir Mimpi Terlalu Pagi. Naskah itu saya kirimkan ke Gramedia Pustaka Utama (GPU) dan diterbitkan tahun 1992.
Kembali Mama menegur. "Kamu mau jadi sarjana atau ingin jadi miskin?" Wah, dalam hati takut juga dimarahi seperti itu. Kembali saya stop menulis. Sebenarnya, hanya soal ini saja Mama keras. Selebihnya, dia sangat menyayangi dan memperhatikan kami. Sering kami liburan bersama. Kebetulan Papa, Jopie Budiarto, bekerja di perusahaan Korea yang memungkinkan kami sering berlibur ke luar negeri.
Sampai saya lulus SMA, saya pernah liburan ke Amerika, beberapa negara Eropa, Asia. Tapi, belum sekali pun saya liburan ke tempat wisata di negeri sendiri. Makanya, saya memilih kuliah di Bali.
KOMENTAR