Muasal ia menjadi sopir lantaran setiap akhir pekan ia selalu menggunakan jasa mobil travel. "Kalau Sabtu kuliah libur, jadi aku pulang ke rumah di Kediri . Senin pagi balik lagi ke Malang."
Lantas ia berpikir, "Kalau akhir pekan, kegiatanku setelah ketemu Papa-Mama paling nonton teve dan main komputer di rumah. Padahal, seharusnya aku bisa melakukan sesuatu yang positif, terlebih lagi bisa mendapatkan penghasilan," ujar bungsu dari dua bersaudara tersebut.
Nah, saat naik travel langganan ia iseng menanyakan kepada si supir, bagaimana kalau dirinya melamar sebagai tenaga paruh waktu. "Karena selain sudah punya SIM, sejak kelas dua SMA aku sudah cakap mengendarai mobil," tuturnya yang langsung mengirim lamaran ke Kirana Tour and Travel di Malang. "Ternyata saya dipanggil."
Sudah ia duga, sang ayah yang seorang kepala gudang Bulog di Ngawi, marah. Justru sang ibu, AKP DN Indrawati, yang bertugas di Polwil Kediri, sangat mendukung. "Sekarang keduanya sudah mendukung, asal aku berhati-hati," ungkap gadis yang bercita-cita menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang.
Bagaimana pengalaman pertamanya menjadi sopir? "Tidak terlintas rasa takut atau grogi. Adanya justru sebaliknya, ya bangga dan senang." Tapi Dhita memang sempat mendapat penumpang yang kurang bersahabat. "Biasanya malah perempuan. Ada yang cerewet, bahkan ada yang doyan pamer di depanku," ujar Dhita yang tetap berusaha melayani dengan kesabaran.
Bagi Dhita banyak hikmah yang diperoleh menjadi seorang supir. "Aku semakin menghargai pekerjaan seorang sopir," sambungnya yang juga pernah menjadi tour leader ke Yogja dan Bali .
Setelah menjadi sopir Dhita bisa mendapat uang tambahan. "Lumayan banget. Kadang aku merasa terharu bila diberi tips dari penumpang yang merasa nyaman disopiri olehku," ungkapnya yang bisa membeli kain kebaya seharga Rp 1 juta dari hasil nyopir.
Gandhi Wasono
KOMENTAR