Salah satu tugasnya adalah melakukan pemindahan satwa ke TSI. "Memang agak rumit. Misalnya, memindahkan gajah, kan, harus tahu berapa besar kandangnya. Lewat darat atau laut pun harus diperhitungkan," papar Ami yang suka hewan sejak kecil.
Banyak pengalaman yang dilalui Ami. Yang istimewa bagi Ami adalah saat merawat bayi beruang. "Beruang, kan, badannya besar, tapi kalau melahirkan anak hanya sebesar tikus dan banyak jumlahnya. Induk beruang termasuk satwa yang tidak mau merawat anaknya, jadi dibiarkan begitu saja."
Artinya, anak beruang itu harus mendapat bantuan tangan manusia agar bertahan hidup. "Disitulah tantangannya bagaimana agar anak beruang bisa hidup karena kesempatan sangat kecil, dibanding anak harimau atau orang utan. Apalagi hidung anak beruang dengan mulutnya sangat dekat, jadi tiap kali dikasih minum susu pasti dimuntahkan lagi." Namun ketika melihat anak beruang tersebut bisa bertahan dan tumbuh sehat, Ami merasa bangga dan senang.
Yang menyulitkan, di Indonesia belum ada susu formula dengan kualitas bagus yang bisa diberikan pada bayi-bayi satwa. "Berbeda dengan di Amerika, sudah kerjasama dengan pabrik besar. Di Indonesia, kan, kesannya kalau mengeluarkan susu untuk satwa nanti dikiranya sama dengan susu untuk orang."
Selain tugas sebagai kurator, setahun lalu Ami dikukuhkan sebagai studbook keeper atau pencatat silsilah hewan tingkat internasional oleh Asosiasi Kebun Binatang Dunia (WAZA) yang bermarkas di New York , Amerika Serikat.
Lalu, apa tugas Ami? Banyak yang menganggap tugas Ami gampang. Padahal, lanjut Ami, mencari silsilah hewan, khususnya tapir, bukanlah hal mudah. Mulai dari siapa ibu bapaknya, ada di negara mana, spesiesnya dimana. Semua data dari seluruh dunia itu dikumpulkan Ami dan dibuat silsilahnya.
Diakui Ami, ini pertama kalinya Indonesia mendapat kesempatan memegang tugas tersebut. "Biasanya didominasi negara Amerika dan Eropa." Pekerjaan Ami tentu didukung suaminya, yang seorang dokter hewan dan anak-anaknya, "Malah aku sering mengajak anak-anak ke TSI, supaya mereka paham pekerjaan ibunya."
Noverita K. Waldan
KOMENTAR