Pin Sudiraharti, ibu 3 anak kelahiran Purworejo, menyisihkan sebagian keuntungan salon rias pengantinnya untuk membangun SLB-B Prima Bhakti Mulia (PBM) di Cimahi, Bandung. Bersama sang putri, Karina Primadhita (22), yang membantunya mengelola satu-satunya SLB di Jabar dengan metode oral ini, Pin terpilih sebagai salah satu Community Entrepreneurs 2009 versi British Council.
Kok bisa tertarik masuk dunia tuna rungu?
Awalnya karena kepepet. Saya ini lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Karena saya enggak mau mengajar SD Inpres, akhirnya saya pun melanjutkan kuliah. Nah, kalau kuliah, dari SPG jalurnya pasti ke SGPLB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa). Begitu kuliah, ternyata jurusannya banyak. Saya observasi dulu. Akhirnya saya pilih tuna rungu.
Ternyata, saya bisa berkembang di situ. Apalagi setelah saya jadi guru di SLB di Wonosobo. Itu cikal bakal sekolah oral di Indonesia. Di sana, saya dapat ilmu pengajaran tuna rungu secara oral. Bahkan di Jakarta saja waktu itu belum ada yang pakai metode oral.
Bagaimana kemudian Anda mendirikan SLB PBM?
Setelah menikah, saya ikut suami ke Bandung. Di Bandung, saya memberi privat kepada anak-anak tuna rungu. Tadinya hanya satu. Kemudian bertambah jadi 5, 10, dan tahun 1997 ada 23 murid. Terapinya saya lakukan di rumah. Setiap hari saya melayani mereka. Kebayang repotnya, karena mereka pakai jadwal. Sebetulnya, kegiatan saya yang utama waktu itu adalah menjadi perias pengantin.
Jago merias pengantin juga?
Saya menekuni bidang itu karena menghasilkan uang. Saya ikut berbagai lomba, bahkan pernah menyabet Juara Umum Se-Jabar tahun 1995. Setelah jadi juara, order pun berdatangan. Tapi, meski punya uang hasil salon, belum terpikir bikin sekolah tuna rungu. Baru setelah jumlah murid privat di rumah bertambah banyak, orangtua murid mulai mendorong saya untuk bikin sekolah. Cuma, bikin sekolah itu kan enggak mudah. Perlu tempat yang layak, gedung, dan SDM yang kemampuannya minimal bisa mendekati saya.
Lantas, kapan bikin sekolah?
Tahun 2000, saya kumpulkan semua orangtua murid. Saya tanya apa keinginan mereka dan saya harus bagaimana. Saya cuma ibu rumah tangga biasa. Tentu tidak bisa membuat sekolah tanpa dukungan uang. Kalau hanya 10 atau 50 juta, dari hasil merias mungkin saya punya. Tapi untuk membeli lahan, membangun gedung, jelas butuh uang ratusan juta. Padahal, mengharapkan bantuan dari orangtua murid juga enggak mungkin. Tak sedikit dari mereka yang tidak mampu. Waktu itu jumlah murid 23 anak.
Terus?
Tahun itu juga, saya bikin wadah, bikin yayasan. Pakai notaris segala. Singkatnya, saya mengantungi izin operasional. Setelah itu, ke-23 siswa saya kelompokkan menjadi 4 kelas; TK 1, TK 2, TK 3 dan kelas 1 SD. Setelah dikelompokkan, saya enggak mungkin mengajar sendirian. Saya butuh guru. Waktu itu tempatnya masih di rumah. Saya belum mampu beli tanah. Saya pun mulai mencari guru. Jadi, selain mengajar murid, saya juga membimbing guru. Tahun berikutnya, gurunya sudah mampu. Setiap tahun saya cari guru.
Ternyata murid juga terus bertambah. Mengajar di rumah sudah tidak memadai lagi. Kami enggak punya privasi. Lantai atas untuk ruang kelas, sementara lantai bawah untuk orangtua menunggu. Ramainya bukan main, seperti pasar.
Akhirnya, suami saya, Drs. Purwoko Raharjo, tergerak dan mengontrakkan rumah, soalnya kami belum mampu beli tanah. Tahun-tahun berikutnya jumlah murid makin banyak, mendekati 40 anak. Tahun 2003, saya bilang ke suami, "Pak, cari tanah, yuk, buat bangun sekolah. Cari yang tidak jauh dari rumah, supaya saya tidak repot mengontrol." Akhirnya kami pun cari tanah. Saya bilang ke suami, "Boleh enggak uang Bapak saya pakai?" Suami saya sempat berpikir dan tanya, "Kapan uang saya kembali?" Saya bilang, "Kalau ditanya kapan uang kembali, mending enggak usah. Karena ini bukan bisnis, ini non-profit."
Akhirnya beli tanah?
Ya, setelah beberapa hari berpikir, suami akhirnya memberi lampu hijau beli tanah. Letaknya di pinggir jalan seluas 450 meter persegi. Harganya hampir 200 juta. Itu belum membangun gedung. Saya berpikir lagi. Untung, saya belum pernah minta sumbangan uang gedung ke orangtua siswa. Ya sudah, saya kumpulkan lagi para orangtua murid. Saya sampaikan bahwa kami butuh gedung. Saya tanya, ada yang mau nyumbang untuk pembangunan gedung enggak? Ternyata mereka mendukung. Mungkin karena mereka puas melihat perkembangan anak-anak mereka selama bersekolah di sini. Anak-anak itu bisa berkomunikasi tanpa isyarat, bisa membaca, menulis.
Mereka pun memberi uang bangunan semampunya. Ada yang 2 juta, satu juta, 300 ribu. Alhamdulillah, beli bulan Juni, bulan September sudah mampu membangun gedung. Bertahap sih. Setelah itu, kami juga dapat bantuan dari Diknas Jabar.
Sekarang sudah lengkap, ya?
Ya, sudah mencukupilah. Ada ruang kelas, ruang guru, laboratorium bahasa, ruang artikulasi, ruang BPBI (Bina Persepsi Bunyi dan Irama). Rencananya, kami akan membuat workshop (bengkel kerja) supaya setelah lulus SMP, anak-anak ini bisa melanjutkan sekolah seperti SMK.
Apa sih kelebihan sekolah ini dibanding SLB lain?
Sekolah lain kebanyakan masih pakai metode isyarat. Kebanyakan juga dicampur, ada tuna rungu, tuna netra, atau cacat mental. Di sini saya pakai metode oral. Kami juga khusus SLB-B, khusus tuna rungu. Saya ingin fokus, supaya bisa maksimal. Daripada dicampur, malah enggak fokus.
Ada 3 metode untuk tuna rungu, yaitu pakai isyarat, pakai oral seperti di sini, dan komtal (komunikasi total) atau perpaduan isyarat dan oral. Kenyataannya, SLB yang menggunakan metode oral jarang. Bahkan, SLB Prima ini satu-satunya SLB di Jabar yang menggunakan metode oral. Juga satu-satunya yayasan yang dibangun oleh ibu rumah tangga biasa. Yang lain kebanyakan punya yayasan keagamaan.
Apa kelebihan metode oral ?
Kelebihan metode oral adalah karena tidak memasukkan isyarat, anak akan berusaha bicara secara wajar. Jadi, anak akan mampu berkomunikasi dengan masyarakat pada umumnya. Kalau komtal hanya mampu berkomunikasi dengan teman atau gurunya.
Sebetulnya anak-anak tuna rungu itu punya kelebihan, konsentrasinya bagus. Kalau mengerjakan sesuatu mereka sangat konsen, tidak terganggu kiri-kanan. Kekurangannya mereka mudah tersinggung. Kalau ada orang ngomong dan mereka tidak tahu artinya, dikirain ngomongin. Saya bicara cepat saja dikirain ngomongin mereka...hehe.
Apa harapan Anda untuk mereka?
Saya ingin mereka mampu bersaing dengan anak-anak normal. Secara ilmu, mungkin susah bersaing, karena mereka tuna rungu. Anak normal kan, mendengar. Makanya, anak tuna rungu itu miskin kosa kata. Kata dan kalimat yang mereka pahami hanya yang diajarkan oleh guru. Mereka bisa membaca tapi enggak tahu artinya. Kesulitannya di situ. Kami punya patokan atau target, setiap semester anak harus mampu menguasai apa. Patokan minimal harus dijalani. Itu juga untuk mempertahankan mutu.
Oh ya, kami sudah 2 kali meluluskan siswa SD, lho. Tahun kemarin 7 orang, 4 di antaranya masuk SMP umum. Tahun sebelumnya, 5 orang masuk SMP umum. Di satu pihak saya bangga anak-anak itu bisa masuk SMP umum. Tapi, yang masuk sekolah umum ada yang balik lagi ke sini. Mereka menemui banyak kesulitan. Mungkin gurunya bicara terlalu cepat, menerangkan sambil membelakangi mereka. Murid kami ini butuh gerak bibir, tidak butuh suara.
Bagaimana menutup biaya operasional?
Awalnya memang sulit. Terpaksa masih harus nombok dari salon rias pengantin. Bayangkan, rata-rata sekelas ada 8 siswa, tapi ada juga yang satu kelas hanya 2 siswa. Itu kan, harus tetap terlayani? Makanya kami pakai subsidi silang. Kalau saya enggak punya usaha, jelas enggak mampu.
Tapi sekarang, karena sudah punya gedung, insya Allah enggak perlu subsidi dari uang pribadi. Cash flow uang masuk dan keluar harus seimbang. Sekarang sih, sudah balance, sudah bisa berdiri sendiri.
Berapa, sih, biaya operasional per bulan?
Sekitar Rp 5,8 juta, itu untuk gaji 13 guru, karyawan, telepon, listrik, dan lain-lain. Saya mungkin satu-satunya kepala sekolah di Jabar yang bukan PNS. Tapi, 8 guru di sini sudah diangkat menjadi PNS. Itu otomatis meringankan yayasan. Karena kami tidak lagi perlu memberikan gaji penuh. Hanya sekadar uang transpor.
Jujur saja, ini yayasan keluarga. Saya mendirikan sekolah, suami mem-backup, anak saya, Karina Primadhita, ikut membantu. Karina membantu mengurusi keuangan. Ia yang tahu berapa SPP yang masuk, siapa yang nunggak, dan sebagainya. Seminggu sekali ia datang ke sekolah. Mengajar sih belum, tapi sebagai anak muda, ide-idenya mampu memberi warna baru di sini. Misalnya, ia sekarang sedang menyiapkan situs SLB-B PBM dalam 2 bahasa, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kebetulan ia pernah mengikuti program pertukaran pelajar ke Inggris selama 6 bulan. Ia juga mengajak murid-murid untuk menanam pohon di pot.
Apa rencana ke depan?
Ada sih yang mengajak kerjasama semacam waralaba, tapi saya belum berani. Tanggung jawab moralnya berat. Saya enggak yakin mampu memberikan yang seperti ini di tempat lain. Saya kan tidak semata mencari untung.
Omong-omong, masih turun tangan merias pengantin sendiri?
Oh ya, Sabtu-Minggu saya masih ngurusi salon. Soalnya duitnya lumayan... hehe. Kebetulan rumah dan sekolah dekat, jadi mudah. Tapi saya hanya pegang pengantinnya, yang lain dipegang asisten, termasuk Karina.
Hasto Prianggoro
KOMENTAR