Pria kelahiran Jakarta, 19 Desember 1974 ini adalah master Psikologi Forensik pertama di Indonesia. Ilmunya berguna untuk aparat penegak hukum. Apa aktivitas bapak dua anak ini?
Belakangan Anda sering dimintai komentar teman-teman wartawan sehubungan kasus Ryan.
Benar. Ada beberapa poin yang sering ditanyakan teman-teman jurnalis. Pertama, mengaitkan perilaku kejam Ryan dengan orientasi seksualnya. Saya pikir sulit untuk sampai pada kesimpulan seperti itu. Dari berbagai literatur yang saya baca, sampai hari ini saya belum menemukan satu pun tipologi atau kategori pembunuhan berganda yang dibangun berdasarkan orientasi seks.
Kedua, masyarakat dan kaum terpelajar sering membanjiri ruang publik dengan stigmasisasi, misalnya saja Ryan adalah piskopat. Buat saya julukan ini merupakan sebuah blunder. Kenapa? Dengan cap sebagai berkepribadian ganda, psikopat, dst, berarti kita sudah mengemukakan ke publik, orang ini mengalami gangguan. Orang ini seolah-olah sakit. Orang sakit, kan, mestinya dibawa ke rumah sakit. Padahal, pada saat yang sama, kita minta Ryan dihukum seberat-beratnya. Makanya kita mesti hati-hati ketika mencoba membangun diagnosis atas diri Ryan.
Ketiga, bicara tentang psikoanalisa, saya tetap yakin, kehidupan seorang Ryan, berakar dari kehidupan usia dini, 0-5 tahun. Nah, terlepas dari aksi kriminalitas yang dilakukan Ryan, semestinya ada satu wacana baru yang dikembangkan, yaitu tentang pengasuhan pada anak. Ryan, kan, tidak lahir sekonyong-konyong. Ia adalah kanvas yang dilukis oleh sekian puluh tangan. Goresan awal akan menentukan goresan-goresan berikutnya.
Bisa cerita tentang ilmu yang Anda pelajari?
Dengan segala kerendahan hati, besar kemungkinan saya adalah Master Psikologi Forensik pertama di Indonesia. Saya lulus S1 Fakultas Psikologi UGM, kemudian menyelesaikan S2 di University of Melbourne. Bicara tentang Psikologi Forensik, seperti diketahui psikologi bicara tentang tingkah laku dan proses mental. Diberi embel-embel Forensik karena disiplin ilmu ini bisa memberi kontribusi bagi proses hukum. Disiplin ilmu apa pun, asal bisa memberi kontribusi pada proses hukum, bisa dikasih embel-embel forensik.
Dengan demikian kontribusi saya bukan untuk kepentingan penyembuhan atau klinis tapi ke arah forensik, yaitu membantu ke arah proses hukum yang lebih ilmiah. Yakni dari sudut pandang psikologi. Ilmunya sebenarnya sudah ada sejak tahun 1910, tapi baru tahun 2001 dinyatakan sebagai bidang ilmiah yang spesifik oleh American Psichological Association.
Kenapa Anda memilih bidang Psikologi Forensik?
Sebenarnya setelah lulus UGM tahun 1998, saya sempat bekerja sebagai diplomat di Departemen Luar Negeri. Baru 1,5 tahun masuk Deplu, saya sudah dipercaya masuk tim penyusunan butir-butir pembicaraan presiden. Saat di Deplu itulah saya mendapat beasiswa dari pemerintah Australia. Saya diperkenankan untuk memilih program studi yang sesuai minat dan ada relevansinya dengan Indonesia.
Selanjutnya, saya browsing di internet, mencari tahu program studi apa saja yang ada di Australia. Entah kenapa ketika saya menemukan kata forensik, saya jadi sangat tertarik. Mungkin karena sedikit banyak saya termasuk orang yang berpola pikir psikoanalisa. Dan cantolannya sangat kuat dengan Psikologi Forensik.
Selain itu, ada proses bawah sadar yang mempengaruhi saya mengambil keputusan, yaitu ada sisi gelap dalam hidup saya yang saya coba ingin cari tahu. Saya berspekulasi mengambil mata kuliah di Psikologi Forensik dalam rangka pengenalan diri pribadi itu. Waktu itu belum berpikir, suatu saat menjadi ilmu yang punya nilai penting di masyarakat.
Anda punya sisi gelap?
Ya. Berdasarkan ilmu psikoanalisa, saya termasuk orang yang berkeyakinan, kehidupan manusia, kepribadian manusia, bahkan peradaban alam semesta ini berangkat dari sebuah titik trauma. Dan itu otentik karena terjadi dalam hidup saya. Saya berasal dari keluarga broken home. Usia 1,5 tahun, orangtua saya cerai. Hidup saya sarat dengan pengalaman tidak menyenangkan, tapi saya tidak tenggelam. Saya justru mencoba mencari pencerahan dengan memahami apa saja yang menjadi titik pangkal trauma saya dengan menekuni bidang ini. Dalam psikologi ini yang disebut sublimasi.
Apa saja pengalaman tidak menyenangkan itu?
Setelah orangtua cerai, semula hak asuh berada di tangan ibu saya. Namun, beliau tidak perhatian. Bisa dikatakan ibu memberikan sebuah "cendera mata" yaitu kepala saya yang bocor. Ibu mendiamkan saja ketika saya masih kecil bergelantungan di timbangan seperti Tarzan. Saya jatuh, kepala bocor. Akhirnya hak asuh pindah ke bapak saya. Bapak tergolong keras, tapi keras tanda perhatian, ketimbang ibu yang tanpa perhatian.
Saat di SD Muhamadiyah Rawamangun, Jakarta, saya suka mencoret-coret tembok sekolah dengan cat. Satu lagi, saya hobi menyakiti hewan. Misalnya saja saya tangkap belalang, lalu tubuhnya saya potong sedikit demi sedikit. Ada kenikmatan saat belalang mengerang kesakitan menuju kematian. Kelak setelah belajar forensik saya jadi paham, andaikan perilaku brutal saya tidak terkelola, saya bisa tumbuh seperti orang-orang semacam Ryan.
Kenapa bisa begitu?
Ternyata ada titik simpul antara orang yang disebut psikopat dengan orang yang melakukan pembunuhan berganda. Salah satu penanda, ketika usia dini, mereka sama-sama suka menyiksa binatang. Untunglah, saya terselamatkan. Ceritanya setamat SD, saya dipindahkan ke Riau, ikut kakek-nenek. Dalam mendidik kakek punya perlakuan berbeda dibandingkan Bapak. Didikan Bapak yang disiplin, keras, penuh keteraturan, justru membuat saya nakal. Tapi, asuhan kakek-nenek yang cenderung memperbolehkan saya melakukan apa saja, justru membuat berprestasi di sekolah.
Kata kuncinya, kakek-nenek tidak berceramah panjang lebar, tapi mampu memberi contoh sebagai sosok teladan. Misalnya, mereka sangat menyayangi binatang. Saya pun menjadi sangat penyayang binatang. Lalu, Bapak mengikhlaskan saya masuk SMA di Yogyakarta. Semasa SMA, saya dipercaya sebagai wakil Yogyakarta dan memimpin delegasi Indonesia dalam program pertukaran pemuda Indonesia-Australia. Secara akademik nilai SMA juga bagus, sehingga saya bisa masuk UGM.
Setelah mengondol gelar S2 Anda kerja di mana?
Pulang ke Indonesia tahun 2004, saya sempat mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN, dulu IAIN). Namun, beberapa bulan menjelang pulang ke Indonesia, saya sempat berkomunikasi dengan Profesor Sarlito Wirawan Sarwono. Dalam salah satu komunikasinya Profesor mengatakan, "Reza, di sini ada pejabat tinggai Mabes Polri, yang butuh bantuan orang seperti Anda yaitu Prof Dr Irjen Pol Faruk Muhamad (gubernur PTIK pada masa itu).
Nah, saat bekerja di UIN saya sempatkan bertemu dengan Pak Faruk. Tidak sekadar menjadi dosen PTIK, saya juga diminta beliau untuk membantu memformulasikan pemikiran-pemikiran tentang reformasi Polri. Pemikiran itu saya kemas dalam bentuk tulisan jadi. Saya pun keluar dari UIN dan sepenuhnya membantu Pak Faruk. Di PTIK, saya mengajar Psikologi Forensik dan Manajemen Konflik, bersama Bambang Widodo Umar.
Ada pengalaman menarik ketika mengajar di PTIK?
Banyak. Salah satunya cerita tentang mahasiswa yang sebagian besar perwira berpangkat AKP dan Iptu. Semula mereka cenderung menyepelekan saya. Sampai akhirnya saya punya kunci. Suatu pagi saat masuk kelas saya menyapa, "Apa kabar saudara?" Jawabannya pun standar, baik. Saya katakan, "Reputasi saudara terpuruk di mata masyarakat, tapi hari ini Anda mengatakan kabar baik. Kalau begitu, Saudara adalah orang yang tidak punya perasaan." Mereka tidak menyangka akan dihujat seperti itu. Setelah itu, barulah mereka menghargai dan mendengar apa yang saya katakan.
Selain di PTIK Anda mengajar di mana saja?
Saya bekerja di Kajian Ilmu Kepolisian UI dan menjadi Ketua Jurusan Psikologi, Universitas Bina Nusantara. Di luar mengajar, saya sering menulis di media massa. Kerap juga jadi narasumber media massa, ikut berbagai seminar dan menulis tajuk di Radio Delta FM yang diudarakan tiap pagi dan sore hari Senin-Jumat.
Satu lagi, bagaimana pola asuh Anda pada anak-anak? Kepada anak-anak saya, Menza Fadiyan Amriel (5) dan Devinza Tazqia Amriely (4), berulang kali saya katakan, "Abang dan adik harus berani mencoba. Kemenangan atau kegagalan adalah sebuah risiko." Keberanian untuk mencoba, ini yang saya selalu tanamkan kepada mereka. Saya juga tidak latah mengajari anak berbahasa Inggris. Saya mengharuskan anak-anak terutama ketika bicara dengan orang dewasa, harus memakai bahasa Indonesia yang sempurna.
HENRY ISMONO
KOMENTAR