"Aku anak Indonesia
Aku punya cita-cita
Punya mobil, punya sawah
Jadi menteri atau bupati..."
Penggalan lirik lagu Anak Indonesia itu keluar nyaring dari mulut 31 bocah. Sambil lesehan di ruang 5x5 meter berlantai semen yang sebagian retak dan cat dinding yang memudar, mereka bernyanyi penuh semangat.
Itulah pemandangan rutin di belakang rumah Iip Robiatul (27), sang ibu asuh yang menetap di Desa Tunjung, Kecamatan Randu Agung, Lumajang, Jawa Timur. Anak-anak yang diasuh Iip sebagian besar ditinggal orangtuanya menjadi TKI. Desa Tunjung memang merupakan sentra TKI ke Malaysia yang kebanyakan berangkat secara illegal.
"Ketika orangtua berangkat jadi TKI, anak-anak biasanya dititipkan pada nenek. Ada orangtua yang kemudian putus memberi nafkah, ada juga yang mengirim uang dalam jumlah sedikit. Dengan uang segitu, untuk hidup saja sulit, apalagi pendidikan. Terpaksalah anak-anak itu banyak yang tak sekolah," tambah Iip, didampingi suaminya, Kamal (27).
Bukan cuma itu. Kadang, sambungnya, demi merantau jadi TKI rumah di desa dijual atau digadaikan. Terpaksa si anak dan nenek hidup terlunta, numpang tidur sana-sini.
Pernah suatu siang empat tahun lalu, Iip yang berprofesi sebagai guru TK tengah mengajar. Tiba-tiba seorang anak didiknya menangis. Setelah ditanya, si bocah yang orangtuanya merantau ke Malaysia mengaku lapar karena belum makan sejak pagi. Sejak itu hati Iip tergugah untuk peduli pada anak-anak TKI di desanya.
"Saya berusaha mengasuh mereka. Untuk biaya makan dibantu juga oleh warga desa. Tapi untuk pendidikan menjadi tanggung jawab saya," ungkap tamatan D-II Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak itu. Untuk anak yang duduk dibangku TK Iip sendiri yang mengajar, sedang yang sudah SD disekolahkan di desa. Setelah pulang sekolah sampai sore hari, anak-anak kembali berkumpul di rumah Iip untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah serta belajar mengaji. "Bahkan, kalau musim hujan, anak-anak tersebut juga tinggal di rumah. Sebab, tempat tinggal mereka yang darurat bocor di sana-sini."
Bukan persoalan mudah menjadi "ibu" dari sekian banyak anak-anak tersebut, terutama berkaitan soal materi. Sementara sang suami hanya bekerja sebagai petani. Tak hanya itu, Iip dan suaminya kerap menjadi tempat curahan hati anak-anak tersebut. "Tapi saya tak mau menyerah," tegasnya.
Soal warga desanya yang mayoritas memilih jadi TKI ilegal, Iip benar prihatin. Berulang kali ia mengingatkan tetap saja tak digubris. Padahal, selama ini warga desanya yang menjadi TKI lebih banyak sengsara ketimbang sukses. Banyak yang ditahan karena melakukan kejahatan berat, bahkan ada yang hilang tak jelas rimbanya. "Lewat pendidikan itulah, saya punya misi untuk anak-anak agar tak tercebur seperti orangtua mereka."
GANDHI WASONO M.
KOMENTAR