Ibu tiga anak asal Medan ini berhasil mengajak warga sekitar tempat ia tinggal untuk menata dan mengelola lingkungan.
Ia juga menyulap limbah plastik/multilayer (sampah kemasan pewangi, sabun cuci, detergen, atau pembersih lantai) menjadi benda yang punya nilai seni seperti tas, payung, dompet, sandal dan aneka kerajinan lainnya.
Wah, kerajinan Anda unik sekali. Ke mana Anda memasarkannya?
Sejak November lalu untuk ekspor. Mulai akhir bulan April ini, saya juga akan memasok ke Carrefour Lebakbulus. Kalau perkembangannya bagus, bisa jadi akan masuk ke Carrefour lain. Tentu ini berkat Unilever Peduli yang memang menjadi pembina saya.
Produk apa saja yang Anda hasilkan?
Tas laptop, tas belanja, sandal, payung, korden kamar mandi, dan berbagai macam lagi.
Pengerjaannya sulit enggak, sih?
Butuh ketelatenan dan kreativitas. Awalnya, bahan sampah plastik ini saya kumpulkan dari warga sekitar dan pemulung. Sampah ini direndam dengan antikuman selama 30 menit.
Setelah bersih, multilayer ini dipotong-potong dalam ukuran tertentu. Seperti menyusun puzzle, potongan-potongan plastik ini dijahit. Nah, para penjahit membuat kerajinan sesuai dengan pola yang sudah saya buat.
Yang cukup sulit sebenarnya proses menjahit. Sebab, multilayer ini, kan, licin dan juga keras. Butuh waktu sekitar tiga bulan untuk menguasai cara menjahit dan menghasilkan produk yang rapi.
Bagaimana prospek usaha ini?
Tampaknya, sih, bagus terutama untuk pasar luar negeri. Sekarang saya dibantu 4 penjahit, 3 pencuci, dan 2 orang yang bertugas memotong.
Cerita, dong, sampai bisa ketemu ide membuat usaha ini?
Semua bermula ketika Unilever Peduli memerlukan kader penggerak untuk menata lingkungan. Mereka melakukan survei dan akhirnya memilih saya. Bersama kader dari berbagai wilayah di Jakarta, saya mendapat pelatihan bagaimana memotivasi masyarakat dalam hal mengubah lingkungan.
Apa yang Anda lakukan usai pelatihan?
Saya kumpulkan kader yang mewakili 11 RT di lingkungan RW saya. Ilmu yang saya dapat dari pelatihan, saya sampaikan kepada mereka.
Kami turun mengajak dan mengajari masyarakat untuk ikut mengubah lingkungan. Caranya dengan mengelola sampah rumah tangga. Sampah basah dan kering dipisahkan. Sampah basah dibuat kompos, sampah kering diolah lagi menjadi barang bermanfaat.
Dalam waktu bersamaan, lingkungan kami hijaukan. Rumah-rumah ditanami berbagai tanaman hias.
Bagaimana hasilnya?
Bagus sekali. Hanya beberapa bulan kemudian, lingkungan yang semula kumuh berubah jadi rapi. Lingkungan yang semula panas, jadi lebih adem. Nah, dalam ajang Jakarta Green and Clean (JGC) Agustus tahun lalu, kami dapat peringkat nomor empat.
Kapan mulai menggarap sampah plastik?
Usai JGC, saya kembali mendapat pelatihan. Kali ini saya diajari bagaimana mengelola sampah plastik menjadi barang-barang bermanfaat. Kami ingin mengubah sampah multilayer yang harganya sangat murah itu (sekilo Rp 500) menjadi punya nilai.
Pulang dari pelatihan, saya bersama seorang rekan saya, Dela, mencoba praktik sendiri, bermodal satu mesin jahit. Setelah beberapa kali mencoba, kami berhasil membuat produk kerajinan.
Di tengah sibuk bergelut dengan sampah plastik, apa kegiatan Anda lainnnya?
Bersama warga, secara rutin kami gotong royong membersihkan dan menata lingkungan. Nah, saat kerja bakti itu, saya tentu saja mengajak anak-anak.
HENRY ISMONO
KOMENTAR