Perempuan memiliki begitu banyak peran, termasuk menjaga kesehatan keluarga. Oleh karena itu, selain dibutuhkan pengetahuan memadai, idealnya para ibu memiliki manajemen waktu yang baik disertai skala prioritas untuk kesehatan keluarganya.
Menurut dr. Retno Asti Werdhani, M. Epid., staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan dokter keluarga dari Medikaloka Health Care, kesehatan keluarga adalah kondisi di mana sebuah keluarga mampu berfungsi dengan baik untuk menjadi keluarga yang sehat, bahagia, dan sejahtera secara fisik dan mental.
Kesehatan keluarga bisa dicapai melalui interaksi positif antaranggota keluarga. Di dalamnya, setiap anggota keluarga harus mampu menjalankan fungsi sesuai kemampuan, tingkat pendidikan, budaya, dan lingkungan tempat tinggalnya.
Kesehatan, dalam hal ini, dipengaruhi faktor genetik, lingkungan (keluarga, rumah, pekerjaan), perilaku, dan pelayanan kesehatan. Nah, dengan mengetahui potensi dari masing-masing faktor ini, kita bisa melakukan pencegahan penyakit.
Catat & Simpan
Biasanya, saat sakit, kita baru mengingat-ingat riwayat penyakit yang pernah dialami, baik oleh diri sendiri maupun anggota keluarga lainnya. Padahal, jika kita rajin mencatat, informasi penting ini akan mempermudah saat berobat ke dokter.
Oleh karena itu, simpan selalu riwayat kesehatan keluarga. Misalnya, catatan medis yang berisi pengukuran dan kondisi bayi dalam kandungan, riwayat vaksinasi, pemantauan tumbuh kembang, serta informasi penting terkait penyakit yang sering dialami anggota keluarga. Riwayat vaksinasi, misalnya, harus disimpan supaya tidak perlu diulang atau justru memerlukan booster vaksinasi.
Biasakan pula anggota keluarga untuk menulis dan mengingat beberapa hal terkait kesehatannya. Sebut saja, alergi, faktor risiko, faktor pencetus, dan riwayat pengobatan. Tujuannya, supaya pihak klinik atau rumah sakit bisa melihat catatan yang telah dimiliki oleh keluarga. Cara ini selain akan menghindarkan pemberian obat yang bisa memberikan reaksi alergi, juga sebagai bahan edukasi terkait berbagai tindakan pencegahan yang diperlukan.
Rekam Medis
Barangkali Anda pernah mendengar istilah rekam medis. Nah, catatan dan dokumen ini berisi identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medis ini dimiliki klinik atau rumah sakit, tapi isinya dimiliki pasien.
Pasien memang bisa memintanya dalam bentuk resume. Bentuknya berupa catatan terpisah yang dibuat dokter. Oleh karena itu, pasien sebaiknya mencatat riwayat kesehatan serta berbagai pengobatan yang pernah dilakukan di buku catatan kesehatan pribadi. Jangan lupa, lakukan pula hal yang sama untuk seluruh anggota keluarga yang lain.
Selain resume, hasil tes laboratorium dan rontgen juga bisa menjadi rekam medis yang langsung dimiliki pasien. Kumpulkan saja hasil tes-tes tersebut dalam satu folder. Begitu juga riwayat kehamilan dan kelahiran, riwayat tumbuh kembang anak, termasuk saat ia mulai bersekolah.
Percayalah, kumpulan catatan medis ini pasti berguna di masa depan. Dokter yang akrab dipanggil Asti ini juga menegaskan, "Satu keluarga idealnya mempunyai buku kesehatan ibu, bapak, anak. Hal ini penting diturunkan pada anak agar belajar tidak menggampangkan sakit dan makin membuat kita sadar bahwa kesehatan itu penting untuk dijaga dengan baik."
Rutin Checkup
Selain mencari tahu dan mencatat jenis penyakit yang kita dan anggota keluarga lain alami, obat-obatan yang diminum rutin, catatan berat badan, dan lingkar perut kita juga harus menyimpan hasil medical checkup. "Tiap individu, setahun sekali harus ingat checkup di hari ulang tahunnya. Gunanya penting sekali untuk mengetahui kondisi kesehatan seiring penambahan umur," ujar Asti.
Ia pun menegaskan, "Harus ada kesadaran dan deteksi dini agar tidak menunggu sakit dulu, baru ke dokter. Melainkan rutin checkup memelihara kesehatan." Apalagi, saat checkup berlangsung, ada edukasi dari dokter yang bersifat pencegahan. "Agar pasien tidak menggampangkan sakit dan tergantung obat," tegasnya.
Dokter Keluarga
Ada kalanya Anda sudah percaya dengan dokter tertentu ketika jatuh sakit. Sehingga, apa pun keluhannya, Anda langsung menghubunginya. Inilah yang dinamakan dokter keluarga atau dokter dengan pendekatan kedokteran keluarga yang berpraktik di fasilitas kesehatan primer seperti klinik atau puskesmas.
Saking dekatnya, dokter keluarga juga umumnya memiliki hubungan jangka panjang dengan pasien. Ia bahkan mampu menjadi penyambung lidah antara dokter spesialis atau rumah sakit lain yang menjadi rujukan.
Menurut Asti, dokter umum yang berpraktik di fasilitas layanan primer di Indonesia sebaiknya melakukan pendekatan kedokteran keluarga dengan memandang pasien sebagai bagian dari lingkungan keluarga, rumah, dan pekerjaannya. Sayangnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memiliki dokter keluarga.
Alasannya, belum bertemu dokter yang tepat dan dapat dipercaya. Selain itu, sistem kesehatan di Indonesia juga belum mengharuskan masyarakat datang ke fasilitas layanan primer sebelum ke dokter spesialis. Alasan terakhir ini, bisa dilihat ketika, misalnya, seseorang mengeluhkan sakit mata dan langsung menemui dokter mata karena menganggap dokter umum hanya bisa menangani batuk dan pilek. Hal ini tentu keliru sebab ada kompetensi minimal untuk penanganan penyakit akut dan kronis sebelum dirujuk bila diperlukan.
"Melalui dokter umum, kondisi pasien bisa dilihat secara holistik. Mulai dari latar belakang, keluarga, kebiasaan sehari-hari serta lingkungan pekerjaan. Sehingga bisa dianjurkan pencegahan dan nasihat praktis untuk dilakukan pasien," papar Asti. Selain itu, mendatangi fasilitas layanan primer juga akan membuat biaya kesehatan lebih efektif dan efisien.
Pahami Siklus Hidup
Para ibu sebaiknya mencermati siklus hidup untuk memahami masalah mendasar kesehatan keluarga. Setelah itu, antisipasi kesehatan keluarga dengan pola hidup berkualitas secara fisik dan sosial.
Usia 0 - 1 Tahun
Setelah menikah, hamil, dan melahirkan, inilah saatnya merawat, mendidik, dan membesarkan buah hati dengan kasih sayang optimal. Ajarkan Si Kecil belajar mencintai dan bersikap ramah. Di tahap ini, risiko gangguan kesehatan bagi Anda dan buah hati adalah penyesuaian diri sebagai orangtua, ASI tidak eksklusif, imunisasi tidak lengkap, kelainan genetik, gizi kurang, gangguan tumbuh kembang anak, dan kerentanan terhadap penyakit infeksi.
Usia 1-5 Tahun
Di golden age ini, balita perlu beraktivitas dan siap belajar karena mampu menyerap informasi lebih cepat. Maka, ikuti terus kegiatan sang anak dan responslah kebutuhannya dengan baik. Nah, di usia ini pula, terdapat risiko gangguan kesehatan pada balita berupa karies gigi, gangguan atensi, penyakit keturunan, obesitas, gizi kurang, kerentanan terhadap penyakit infeksi, dan gangguan tumbuh kembang.
Usia 6 - 12 Tahun
Doronglah aktivitas fisik anak sedini mungkin dan bimbing anak dengan kasih sayang. Terlebih ketika ia memasuki fase pubertas dan haid pertama. Di masa pubertas, waspadai risiko gangguan kesehatan gangguan atensi, gangguan belajar, penyakit infeksi, krisis percaya diri, obesitas, penyakit keturunan gangguan pubertas, juga pendidikan seks yang kurang.
Usia 13 - 18 Tahun
Di masa remaja, orangtua sebaiknya menjadi partner dan bukan "pengawas anak". Tekankan pula kepada anak perempuan maupun laki-laki, bahwa tidak seorang pun boleh memaksa melakukan hubungan seks.
Di masa ini, terdapat beberapa risiko gangguan kesehatan seperti kenakalan remaja, krisis percaya diri, kehamilan remaja, disorientasi seksual, penyakit menular seksual, perilaku seks bebas dan tak aman, krisis kematangan dan kemandirian, juga ketergantungan alkohol dan narkoba.
Usia 19 - 40 Tahun
Di masa ini, individu berada dalam proses menyeimbangkan antara keluarga dan karier. Secara mental, sadarilah Anda tidak bisa mengontrol segala hal, sebab kebahagiaan adalah menerima kenyataan apa adanya. Berikut beberapa risiko gangguan kesehatan yang ada: stres, obesitas, sindrom metabolik, ketidakstabilan jiwa, perubahan gaya hidup, komunikasi anak dan orangtua tidak lancar, ketidakmampuan adaptasi terhadap lingkungan luar rumah.
Aturan Emas Kesehatan Prima
1. Makan sehat dan seimbang.
2. Olahraga teratur.
3. Tidak merokok.
4 .Menghindari konsumsi alkohol.
5. Hindari obat-obatan terlarang.
6. Hubungan seks yang baik dan setia.
7. Tidur nyenyak dan cukup.
8. Menangani stres.
Ade Ryani
KOMENTAR