Rio sudah sejak SMA berteman baik dengan Nia. Rio adalah laki-laki temperamental dan nakal, sementara Nia adalah perempuan yang pintar dan kalem. Keduanya satu geng, teman curhat, kuliah pun di kampus dan jurusan yang sama.
Namun, setelah enam tahun bersahabat baik, Rio mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Keduanya memang sempat berpacaran dengan orang lain namun putus di tengah jalan. Rio merasa, Nia-lah perempuan yang mampu memahami dirinya. Akhirnya, ia memberanikan diri menyatakan perasaannya, meski sempat ragu. Pasalnya, kalau Nia menolak perasaannya, tentu persahabatan mereka bakal rusak. Untunglah, ternyata Nia juga memiliki perasaan yang sama. Ia mulai mengagumi Rio yang selama ini menjadi tempat curhat-nya. Akhirnya, keduanya pun berpacaran dan kemudian menikah.
Sebetulnya, tak ada yang salah dengan menjadikan sahabat sebagai pasangan. Anda berdua hanya perlu memperhatikan beberapa hal. Pasalnya, hubungan sebagai sahabat yang kemudian berubah menjadi hubungan pasangan suami istri kerap memicu konflik. Elly Nagasaputra, MK, Family & Life Counselor dari www.konselingkeluarga.com menuturkan tips sekaligus persiapan saat kita akan "mengubah" persahabatan menjadi percintaan dan pernikahan.
Lima Rambu
Memahami Perasaan yang Timbul
Masing-masing harus benar-benar sadar, perasaan yang muncul adalah cinta, bukan karena alasan lain. Untuk itu, dibutuhkan waktu untuk merefleksikan, apakah perasaan yang timbul benar merupakan cinta dan bukan karena sudah bersahabat lama? Bukan pula karena "tak ada pilihan lain" setelah kerap gagal menjalin hubungan dengan banyak orang, sehingga memilih teman baik sebagai pasangan karena dianggap sudah kenal "luar dalam" dan sudah merasa "nyaman"?
Cara untuk merefleksikan perasaan bisa dengan mengambil jarak sejenak, misalnya selama dua minggu tidak bertemu dan tidak berhubungan, serta menggunakan waktu tersebut untuk memikirkan perjalanan persahabatan selama ini. Lalu, analisis perasaan yang timbul, apakah tulus dan memiliki modal yang memadai untuk maju berpacaran, dan bukan sekadar menjadi pelarian atau ajang uji coba?
Memelihara Respek
Respek adalah suatu modal penting agar pernikahan berjalan baik. Jadi, masing-masing harus menyadari dengan tepat adanya perbedaan relasi antara pria dan perempuan sebagai sahabat baik dengan relasi pria dan perempuan sebagai suami istri. Masing-masing pihak sebaiknya bisa menghormati pasangannya, bukan lagi sebagai sahabat yang satu level, tetapi sebagai istri/suami. Istri mengerti bagaimana menghormati suami dan suami mengerti bahwa ia harus mencintai dan mengayomi istri.
Pentingnya Kepercayaan
Tentu ada perbedaaan keterbukaan antara posisi sebagai sahabat dan posisi sebagai suami istri. Setelah menikah, baik suami ataupun istri memiliki ruang privasi. Misalnya, jika saat bersahabat, segala sesuatu bisa Anda ceritakan kepada Si Dia, kondisinya akan berbeda setelah menikah. Bisa saja, ada hal-hal yang kadang tidak dapat diungkapkan setelah menjadi suami istri. Meski demikian, bukan berarti istri dan suami tidak boleh terbuka. Dan jika pasangan memilih menyimpan sesuatu dari Anda, pihak yang lain harus tetap menghargai dan mempercayai pasangannya.
Gairah Sebagai Pasangan
Ini masih berkaitan dengan poin kesatu. Jika perasaan bersahabat berubah menjadi cinta adalah benar dan jelas, maka gairah tidak menjadi masalah. Tentu, masing-masing akan tetap mempunyai ketertarikan dan gairah serta excitement yang sama.
Kerelaan untuk Berubah
Jangan sampai karena menikah dengan sahabat baik, lantas dianggap masing-masing pihak harus menerima pihak lain apa adanya tanpa ada keinginan untuk berubah sesuai yang diharapkan dari pasangan. Jadi, keduanya tetap harus memiliki kerelaan untuk berubah karena ekspektasi sahabat tidaklah sama dengan ekspektasi pasangan hidup.
Untung Rugi
Meski ada kelemahan, namun menjadikan sahabat sebagai pasangan hidup juga memiliki keuntungan. Di antaranya mengenal segala kelemahan dan sifat buruk serta kelebihan pasangan, tidak perlu jaim (jaga image, Red.) karena sudah mengenal segala hal, termasuk diri dan keluarga, serta hubungan dengan mertua dan pihak keluarga pasangan pun sudah terbina baik.
Sementara kelemahan pernikahan yang bermula dari persahabatan adalah singkatnya jarak penyesuaian menuju gerbang pernikahan yang singkat. Sehingga bisa saja salah satu atau keduanya tidak siap dengan ekspektasi dari calon suami atau calon istri. Padahal biasanya, saat akan menikah, masing-masing memiliki harapan tertentu. Alhasil, pada saat masing-masing pihak menyadari bahwa pihak lain memiliki ekspektasi, mereka menjadi terkejut dan tidak jarang terjadi konflik berkepanjangan. Atau, mereka merasa adanya perbedaan kepribadian. Dari yang tadinya hubungan persahabatan tanpa tuntutan, berubah menjadi suami/istri dengan tuntutan yang diekspektasi akan dipenuhi oleh pasangannya.
Kelemahan kedua adalah kurang gairah dan kurang romantis. Hal ini biasanya terjadi karena keduanya sudah mengenal "luar dalam" selama bertahun-tahun. Sehingga terkadang tidak ada perasaan deg-degan dan getaran-getaran seperti jika berpacaran dengan orang yang baru dikenal. Ketiga, jika ketika menjadi sahabat bisa saling curhat segala perkara. Kondisi lantas berubah setelah menjadi suami istri. Masing-masing tidak lagi bisa leluasa menceritakan semua hal seperti ketika masih menjadi sahabat. Adanya perubahan status ini acapkali menimbulkan krisis identitas.
Terakhir, ketika menjadi sahabat, mungkin saja masing-masing bisa bercanda tanpa batas. Akibatnya, ketika menikah, terkadang jadi sulit menimbulkan rasa hormat terhadap pasangan yang notabene adalah mantan sahabat yang biasa "dibercandain". Masing-masing masih beranggapan bahwa pasangannya adalah teman baiknya yang "selevel".
Awas Konflik
Lantas apa yang harus dilakukan ketika Anda berkonflik dengan pasangan yang awalnya adalah teman baik Anda? Elly menyarankan agar Anda berdua tetap memikirkan perasaan yang timbul dan keputusan yang mau diambil untuk mengubah persahabatan menjadi percintaan, yang pada akhirnya akan masuk ke jenjang pernikahan.
Anda berdua juga harus sadar bahwa meski yang dinikahi adalah "mantan" sahabat, terkadang dia akan berubah menjadi "pribadi" yang berbeda setelah Anda nikahi. Oleh karena itu, meski menikah dengan "mantan" sahabat, Anda harus tetap memiliki kerelaan hati untuk mau berubah sesuai ekspektasi pasangan.
Jangan lupa juga untuk tetap mengobarkan gairah dan excitement sebagai pasangan. Jangan larut oleh anggapan bahwa karena menikah dengan orang yang sudah kita lama dikenal, maka getar-getar asmara atau sensasi butterfly in the stomach akan serta merta berkurang atau hilang. Terakhir, sadari adanya platform yang berbeda antara persahabatan dengan pernikahan, komitmen ini memerlukan cinta dan respek yang harus senantiasa dibina. Bukan sekadar bermodal "sudah mengenal baik dan buruk pasangan."
Hasto Prianggoro
KOMENTAR