Kini, ia termasuk salah satu sutradara muda yang namanya mulai diperhitungkan.Kapan Anda mulai menyukai film?
Umur lima tahun saya sudah suka mengumpulkan uang jajan untuk nonton film di bioskop. Awalnya, sih, saya diajak Ayah. Sejak itu, saya suka nonton film. Akhirnya, saya sering sekali pergi sendiri ke bioskop. Padahal, jarak bioskop dari rumah saya lumayan jauh, lo, sekitar 1 kilometer.
Saya masih ingat nama bioskopnya Remaja Teater, tiketnya masih 100 perak. Lama-lama, kebiasaan saya nonton bioskop seorang diri ketahuan Ayah. Akhirnya, setiap hari Minggu, Ayah menemani saya nonton bioskop.
Setelah masuk SD dan bisa menulis dan membaca, saya suka sekali menulis kembali film-film yang sudah saya tonton di buku. Kalau ngeliat lagi isi buku itu lucu banget. Sayangnya karena sering pindah rumah, tinggal beberapa buku saja yang masih saya simpan. Saking seringnya nonton film dan sangat menyukai film, semasa kecil saya sempat bercita-cita untuk menjadi bintang film.
Anda belajar khusus tentang perfilman?
Sebenarnya tamat SMA saya ikut UMPTN dan diterima di ITB jurusan Aeronatical Engineering tahun 1994. Setahun kemudian, saya mulai menulis di Majalah Matra kolom intermezo. Dari situ kemudian saya diajak masuk Liga Film Mahasiswa di Bandung. Saya pun mulai belajar tentang perfilman.
Lulus dari ITB, saya menjadi jurnalis di Jakarta Post. Maksudnya supaya saya bisa masuk dunia hiburan. Ternyata benar, Juli 2002 saya mendapat kesempatan untuk mewawancarai sutradara Nia Dinata sehubungan dengan film Cau Bau Kan.
Lalu?
Ketika kami ngomongin soal skrip, dia bilang, 'Kok, lo sok tau banget soal skrip. Lo, kan, cuma wartawan. Emangnya lo bisa bikin skrip?' Dari situ, saya kasih Nia, skrip film Janji Joni. Enggak tunggu lama, siang saya kasih skrip, malamnya dia SMS saya. Dia bilang, 'Gila, bangus banget Janji Joni.' Dia minta ketemu. Besoknya kami langsung ketemu. Saat pertemuan itu, Nia menawarkan saya untuk membantunya menulis skrip film Arisan.
Sebenarnya, saya pertama kali masuk dunia film layar lebar ketika ikut dalam pembuatan film Biola Tak Berdawai. Jadi, setelah ketemu Nia, di hari yang sama saya juga ketemu Mbak Sekar Ayu Asmara. Saya diajak ikut membuat cerita sekaligus jadi asisten sutradaranya. Saya langsung terima tawaran itu. Padahal saya, kan, enggak tahu apa-apa. Dari situlah saya banyak belajar.
Saya sekarang sudah keluar dari Jakarta Post, tapi saya masih mempunyai kolom untuk film di harian itu. Jadi, sampai sekarang saya masih menulis tentang film.
Kapan Anda mulai menyutradarai sebuah film?
Pertama kali, saya menyutradarai film pendek berjudul Joni Be Brave. Yang main diantaranya Alex Abbad dan Sandrina Malakiano. Film itu dijadikan penutup di sebuah event internasional untuk Indonesian recovery di Bali, Desember 2003 lalu. Itu job profesional sebagai sutradara yang pertama bagi saya.
Tidak ada pendidikan formal sebagai sutradara, bagaimana cara Anda menyutradarai sebuah film?
Saya sok tahu saja, seakan tahu segalanya. Pokoknya sebisa mungkin orang enggak tahu kalau saya juga bingung. Saya usahakan agar jangan sampai saya hilang muka di depan kru, that's it. Akan tetapi, meski enggak belajar secara resmi untuk menjadi sutradara, saya banyak belajar dari internet. Saya baru belajar dari buku setelah sanggup membeli buku-buku tentang teknik menyutradarai yang sangat mahal itu.
Sebenarnya, sih, yang paling penting dalam sebuah film adalah story telling-nya. Saya enggak terlalu suka dengan shot yang indah, fancy, stylish tapi enggak mendukung cerita. Jadi, saya membuat shot yang cukup agar orang bisa nangkep apa yang saya coba sampaikan. Simple shot, saja. Ternyata berhasil. Yang simpel lebih gampang masuk ke kepala orang. Ketika Joni Be Brave usai ditayangkan di acara itu, saya banyak dapat pujian.
Bagaimana ceritanya Anda bisa jadi sutradara Janji Joni?
Setelah selesai Arisan, saya menagih janji pada Nia Dinata untuk membuat Janji Joni. Dia bilang, harus mencari sutradaranya dulu. Dengan tegas saya katakan, kalau mau film ini diproduksi, harus saya yang jadi sutradaranya. Kemudian, Nia ngetes saya untuk membuat iklan layanan masyarakat dan video klip.
Ada beberapa iklan layanan masyarakat yang saya buat. Salah satunya adalah 4 versi iklan anti drugs. Semuanya saya yang tulis naskahnya dan satu di antaranya saya sutradarai sendiri. Dari sinilah saya menyutradarai Janji Joni.
Film Janji Joni bercerita tentang apa, sih?
Seorang pengantar film yang bernama Joni. Naskah ini saya tulis ketika masih kuliah di ITB, tahun 99. Idenya saya dapat ketika saya sering nonton di sebuah bioskop di Bandung. Enggak perlu saya sebutkan namanya, enggak enak. Soalnya di bioskop itu film sering banget putus. Di tengah-tengah film, ada tulisan "Mohon Maaf Tunggu Film."
Pernah putusnya lama banget, sampai sebagian penonton minta uangnya kembali. Ketika saya tanyakan masalah itu ke resepsionis, katanya yang mengantar film tabrakan. Dari situ saya tahu, satu film dibagi dengan 2 bioskop. Jadi, sehabis diputar di bioskop yang satu, film itu langsung diantar ke bioskop yang lain. Di Jakarta juga masih begitu. Di Jakarta, kalau film putus, tulisan yang keluar adalah "Mohon Maaf Ada Kesalahan Teknis."
Di situlah saya mulai membuat skrip tentang pengantar film yang bernama Joni. Di bisnis film ini orang jarang paham pentingnya peran pengantar film. Kalau dia enggak tepat waktu, tulisan Mohon Maaf Tunggu Film akan muncul di layar. Nah, dalam film ini, Joni bilang, 'Kalau saya sedang bertugas, hal itu tidak akan pernah terjadi.' Itulah janji Joni.
Sampai suatu ketika, Joni bertemu wanita cantik yang membuat Joni langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia memberanikan diri untuk menanyakan nama wanita itu. Wanita itu kemudian bilang, 'Kamu antar film kita, pastikan agar film itu tidak putus di tengah-tengah. Setelah itu baru aku kasih tahu namaku. Deal?' Joni pikir kerjaan itu gampang. Ternyata hari itu seakan-akan seluruh kota berkonspirasi untuk membuat Joni gagal dalam tugasnya.
Apakah Anda melakukan semacam observasi sebelum membuat naskah ini?
Sama seperti naskah-naskah sebelumnya, saya selalu observasi dulu. Saya juga lakukan wawancara. Untuk Janji Joni, setiap kali saya nonton di bioskop, saya selalu menyempatkan diri ke ruang proyektor untuk tahu bagaimana tugas pengantar film.
Berapa lama Anda membuat naskah ini?
Cuma dua bulan. Tapi kemudian harus di-rewrite lagi, itu kenapa baru tahun 2002 naskah Janji Joni selesai.
Kenapa Anda memilih Nicholas Saputra sebagai pemeran utama?
Sebenarnya, ada 15 orang yang ikut casting sebagai Joni. Tapi, hanya Nico yang cocok. Dia sangat berbeda sekali dengan peran sebelumnya. Pokoknya, dia beda banget di Janji Joni.
Bagaimana Anda menanggapi beberapa pendapat yang mengatakan, film JJ merupakan hasil plagiat?
Bagaimana bisa dikatakan seperti itu? Filmnya aja belum diputar. Coba deh nonton dulu. Enggak mungkin saya melakukan hal semacam itu. Plagiat, it's the worst thing. Film ini berasal dari ide orisinal saya.
Film apa lagi yang melibatkan Anda?
Saya bersama teman pernah menggarap film pendek berjudul Amok. Film ini akan diikutkan ajang FFI (Festival Film Indonesia. Red) pertama setelah lama vakum, 2004 lalu. Saya buat naskah, tapi enggak berani menyutradarainya. Akhirnya, saya kasih teman saya. Dengan dana yang sangat minim, cuma Rp 2,5 juta, kami mulai membuat film pendek itu. Dalam film itu, saya berperan sebagai produser, penulis naskah dan ikutan main juga.
Hanya 1,5 hari film itu selesai. Tapi, saya bilang ke temen-temen, film ini enggak usah diikutkan ke FFI, saya malu. Saya memang suka ceritanya, tapi ada beberapa hal yang membuat saya masih merasa kurang puas. Namun, teman-teman tetap ingin film ini diikutkan. Akhirnya satu hari sebelum pendaftaran ditutup, saya daftarkan film itu. Ternyata film saya terpilih menjadi 3 besar Best Picture.
Apa rencana Anda berikutnya?
Saya ingin membuat sebuah film thriller. Berbeda dengan film sebelumnya, saya sangat puas sekali ketika menulis naskah film ini. Sebenarnya tidak hanya ada thriller, tapi ada juga misterinya, supernatural, dan komik. Judul sementaranya, Death Time. Naskah ini belum saya kasih ke produser mana pun. Jika jadi difilmkan, ini akan menjadi film thriller pertama di Indonesia. Saya yakin, film ini akan sangat bagus.
Bisa Anda kasih sedikit bocoran tentang film ini?
Film ini bercerita tentang jurnalis yang underdog. Dia dianggap enggak capable. Jurnalis ini mengidap penyakit bernama narkolepsik. Penyakit ini membuat orang yang mengidapnya mendadak tidur ketika mengalami sesuatu yang sangat menyenangkan atau marah. Suatu hari dia ditugaskan meliput sesuatu yang sangat tidak diinginkan oleh orang lain. Ternyata, sesuatu itu sangat besar.
Bagaimana, sih, cara Anda membuat naskah sebuah film? Apakah perlu mengasingkan diri?
Saat membuat naskah, saya engak suka di ruang tertutup. Saya suka mengamati wajah-wajah orang. Itu kenapa, saya punya meja khusus di kafe langganan saya di Citos (Cilandak Town Square. Red). Di situ, tempat saya biasa menulis naskah.
Yang jelas, ketika membuat naskah, itu karena I have something to tell. Bukan karena melihat kecenderungan pasar. Setiap kali membuat film saya berusaha membuatnya sekomunikatif mungkin. Gampang diakses oleh setiap orang. Kalau kemudian jadi box office atau apa, saya enggak pernah memikirkan seperti itu.
Sepertinya Anda tidak mengkhususkan diri untuk jenis film tertentu, ya?
Iya. Sekarang saja, saya sedang menyelesaikan naskah comedy adventure dan sebuah film drama. Saya enggak mau mengkhususkan diri untuk menulis naskah film tertentu. Saya punya janji pada diri sendiri untuk tidak membuat film dari genre yang sama secara berurutan.
Kenapa?
Saya suka film dari berbagai genre. Itu sebabnya, saya berusaha membuat film dari semua genre. Enggak mungkin saya mengkhususkan diri untuk membuat film dari genre tertentu.
Seperti apakah film yang bagus menurut Anda?
Film yang baik, everything is logical. Good movies teach you about life. Good movies itu bukan berarti film yang berat. Film yang bagus adalah yang memberikan sesuatu tentang apa saja. Kadang film kacangan semacam Bring It On itu memberikan sesuatu kepada kita sebagai penonton. Misalnya tentang leadership dan team work.
Apa tanggapan Anda tentang perkembangan film tanah air?
Di tahun ini, dunia perfilman kita akan diuji. Menurut saya, tahun 2005 ini merupakan critical moment untuk film Indonesia. Kalau kita bisa membuat film yang bagus, penonton akan terus menonton film Indonesia. Tapi, kalau tidak, mungkin penonton akan kapok menyaksikan film Indonesia.
Sejauh ini, apa yang sudah Anda dapatkan dalam dunia perfilman?
Memang belum banyak yang saya dapatkan. Tapi, misalnya saya meninggal besok, I died smiling. Maksud saya, dengan apa yang sudah saya dapatkan ini I've made the cake. Tinggal icing the cake.
Edwin Yusman F.
KOMENTAR