Peran ayah kini berevolusi. Dulu ayah diartikan sebagai bread winner alias pencari nafkah utama bagi keluarga. Sekarang, ayah mempunyai makna lebih luas. Yaitu sebagai sosok yang selalu ada untuk anak-anaknya dan bisa diandalkan kapan saja. Artinya, saat ini tak cuma terima laporan dari ibu dan tahu beres mengenai urusan anak dan rumah.
Di beberapa negara, termasuk Indonesia, banyak sekali para ayah yang memutuskan untuk bertukar peran dengan ibu dari anak-anaknya. Stay at home dad (SAHD) atau Ayah Rumah Tangga (ART), demikian sebutan bagi para ayah yang memutuskan untuk mengambil peran lebih besar dalam mengurus urusan rumah tangga hingga mengasuh anak.
Alasan Kepraktisan
Selain kehilangan pekerjaan, Dr. Robert Frank dalam buku Equal Balanced Parenting and The Involved Father menuturkan alasan lain yang melatarbelakangi pilihan ini.Menurut ahli perkembangan anak dari Amerika Serikat ini, sebuah keluarga biasanya memutuskan siapa yang menjadi pencari nafkah dan siapa yang mengurus rumah tangga berdasarkan pada kepraktisan. "Bisa saja kepribadian suaminya memang lebih cocok untuk membesarkan anak-anak atau lebih mudah melepaskan karier Sang Suami dibanding karier istrinya," jelas Frank dalam bukunya.
Frank juga menambahkan bahwa pilihan menjadi stay at home dad juga bisa terjadi karena pekerjaan suami memungkinkan ia melakukannya dari rumah alias lebih fleksibel. "Namun pada kebanyakan kasus, stay at home dad terjadi karena penghasilan istri lebih besar atau peluang karier istri lebih bagus dibandingkan suami," jelasnya. Bicara angka, menurut Anna Surti Ariani, Psi., saat ini jumlah SAHD yang terjadi dengan disengaja alias di luar alasan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau masih menganggur semakin besar dari tahun ke tahun.
Menyiapkan Mental
Sebelum memutuskan menjadi stay at home dad, baik suami dan istri harus menyiapkan fisik dan mental. Dalam hal ini, porsi kesiapan mental lebih besar. Seperti dianggap hanya ongkang-ongkang kaki atau tidak maskulin ketika menjadi SAHD. Misalnya, "Kok, kamu diam di rumah saja? Malah istrimu yang bekerja sampai malam," atau dipandang sebelah mata ketika Anda (ayah, Red) menggendong bayi sementara istri membawa laptop.
"Dari pandangan maskulinitas, SAHD perlu membuktikan bahwa walaupun dia di rumah, dia tetap maskulin, kok. Bahkan menggendong anak biologis adalah salah satu bukti maskulinitas mereka," ucap psikolog yang akrab dipanggil Nina ini.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Aaron Rochlen. ART mendefinisikan maskulinitasnya berdasarkan versi pribadinya dan tidak terpengaruh oleh stereotip gender dan gender ideal yang berlaku. "Para ayah mampu melihat bahwa kerja keras mereka dalam mengasuh anak merupakan sesuatu yang justru dinilai maskulin dibandingkan sekadar menghasilkan uang untuk keluarganya," papar Nina dalam tesisnya yang membahas mengenai SAHD.
Para ART juga harus menyiapkan mental istrinya. "Membantu istri menguatkan diri ketika suaminya dianggap kurang maskulin dan mendukung istri yang bekerja," papar Nina. Begitu pula mengenai pemasukan bagi keluarga. Apalagi SAHD sebenarnya masih bisa membantu pemasukan keluarga meski hanya semampunya. Bisa saja para ART ini tetap bekerja dari rumah atau bekerja lepasan.
Dukungan juga bisa berupa menghemat pengeluaran rumah tangga. "Ketika tidak mampu memberi nafkah finansial, berusaha untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga agar istri yang lelah bekerja tidak perlu direpotkan lagi ketika sampai di rumah, mendengarkan keluh kesah istri, meyakinkan istri bahwa apa yang dilakukannya baik, meyakinkan istri bahwa anak-anak terjaga dengan baik di rumah dan rumah juga oke," urai Nina.
Positif Bagi Anak
Pada dasarnya baik pria dan perempuan sama-sama berusaha mengasuh dan menjaga keturunannya. Ini dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menyatakan bahwa kemampuan ayah mengurus anak dan kedekatan ayah dengan anak sama bagusnya ketika dilakukan ibu. Jika ada anggapan bahwa perempuan memiliki insting caring yang lebih kuat lebih didasarkan pada keyakinan seorang perempuan bahwa anaknya memang benar-benar anaknya. "Ketika ada ayah yang kurang ingin terlibat dengan pengasuhan anak, menurut teori psikologi evolusioner, ayahnya kurang yakin bahwa anaknya benar-benar anaknya," papar psikolog keluarga ini.
Begitu pula dengan anggapan bahwa anak laki-laki yang diurus oleh SAHD cenderung tumbuh kurang maskulin. "Kalau dibedakan secara gender, setahuku justru lebih bagus buat laki-laki. Karena ia cenderung lebih menghargai perempuan, bisa belajar tentang cara laki-laki memperlakukan perempuan dengan baik, dan lebih menghargai tugas-tugas rumah tangga," ungkap Nina.
Anak laki-laki juga cenderung lebih fleksibel untuk memasuki berbagai jenis pergaulan karena sedari kecil sudah dibesarkan dengan SAHD yang termasuk ideologi maskulinitas nontradisional. "Tentu saja ini semua bisa terjadi ketika ayah dekat dengan anak-anaknya," tambahnya. Manfaat SAHD dan ibu yang bekerja juga didapatkan anak-anak tanpa membedakan jenis kelamin. Mereka cenderung lebih sehat karena aktivitas bersama ayah biasanya lebih banyak melibatkan kegiatan fisik. "Anak juga lebih berani mengambil risiko dan lebih berprestasi di sekolah, dll," pungkas Nina.
Astrid Isnawati / bersambung
KOMENTAR