Perlu diketahui, kemandirian bukan sekadar bayangan bahwa pada usia tertentu si anak bisa ini dan itu. Yang lebih mendasar justru rasa aman buat dirinya sendiri untuk mencoba berbuat sesuatu. "Bukan tak mungkin, lo, anak yang terbiasa tergantung sepenuhnya pada orang tua, sampai dewasa pun tak pernah berani mencoba naik angkutan umum. Termasuk taksi atau pesawat yang nyaman sekalipun."
Yang pasti, fleksibilitas atau kemampuan menyesuaikan diri juga mesti diasah sejak kecil. Minimal, si ibu yang kelewat ideal tadi diharapkan bisa menempatkan diri untuk "menurunkan standar"nya. Semisal, saat liburan atau jauh dari rumah yang tak memungkinkannya mendapatkan hal-hal yang rutin ada di rumahnya selama ini. Sebab anak yang dijadwalkan kelewat ketat, contohnya, bisa-bisa malah gampang jatuh sakit. "Soalnya, anak yang terbiasa hidup kelewat sehat, besar kemungkinan ambang terhadap gangguan kesehatannya pun jadi rendah. Masalahnya, tubuhnya tak terlatih menerima masukan-masukan yang tak termasuk kategori sehat tadi."
MERASA JADI PAHLAWAN
Dampak buruk tak hanya pada anak. Soalnya, si orang tua akan memaksa diri tampil menjadi orang tua yang baik sesuai gambaran idealnya. Akibatnya, ia jadi tegang dan tak lagi mampu menikmati perannya sebagai orang tua. Alhasil, anak jadi merasa tak nyaman karena ibu/bapaknya jadi mudah marah atau terbiasa melampiaskan ketidakpuasannya pada orang-orang yang relatif lebih "tak berdaya" seperti pembantu.
Sebaliknya, tak sedikit pula yang kemudian justru merasa jadi superhero alias pahlawan sejati bagi anak sekaligus keluarganya. Karena lewat perannya, dia merasa amat dibutuhkan dan ia amat menikmatinya. "Biasanya, ibu yang memainkan peran ini merupakan sosok istri yang karena berbagai alasan atau bentukan lingkungan, tak melibatkan suami dalam soal pengasuhan anak." Nah, karena "beban" berat itu, bisa-bisa ia jadi tertekan. Soalnya, kalau sampai gagal, semua kesalahan bakal ditimpakan padanya, kan?
Bahkan, meski tak bikin kesalahan pun, masyarakat akan cenderung menyalahkannya. Semisal, "Ibunya ngapain aja, sih?" Nah, kekhawatiran akan kegagalan seperti itulah yang mendorong si ibu memacu diri sedemikian ketat agar anaknya memenuhi gambaran ideal. Sedangkan jika anaknya bisa tampil sehat, pintar, dan memenuhi sederet kriteria gambaran ideal, dia bakal menemukan kebahagiaan tak terhingga.
Alhasil, harga diri si ibu jadi tergantung penuh pada "keberhasilan" si anak. Meski orientasinya terkesan materialistis karena diukur dengan hal-hal keduniawian. Padahal, ideal-ideal yang ditawarkan kerap membohongi. "Makanya, sebaiknya senantiasa pertanyakan, apakah nilai-nilai ideal tadi memang yang terbaik untuk anaknya, sesuai kebutuhan anak. Yang pasti, bukan yang terbaik menurut kacamatanya sebagai orang tua. Kalau tidak, jika si anak tak memenuhi gambaran idealnya, si ibu merasa gagal sebagai orang tua."
Th. Puspayanti
KOMENTAR