Selain itu, kita pun perlu mendampingi si kecil kala ia tengah beraktivitas. Kalau tidak, bisa terjadi kecelakaan, lo. Saat ia tengah memberantaki kotak perkakas ayah yang berisi benda-benda tajam, misal, kan, berbahaya sekali. Ia bisa tergores gergaji atau tertusuk paku, dan lainnya. Lagi pula dengan pendampingan, kita bisa sekaligus membantu si kecil menambah wawasan dan pengetahuannya. Misal, ia tengah ngeberantakin koran dan tertarik pada gambar apel yang ada di situ. Nah, manfaatkan kesempatan emas ini untuk menggali pengetahuannya, "Ini gambar apa, ya, Dek?"
Selanjutnya, kaitkan dengan pengalaman lain yang pernah diperolehnya. Misal, "Ini, kan, apel seperti yang kemarin kita beli di pasar." Lanjutkan lagi pembelajaran asosiasi ini dengan membandingkan gambar tersebut pada benda sebenarnya, "Yuk, kita ambil apelnya di kulkas. Kita cocokkan dengan gambarnya." Dengan begitu, kita telah mengoptimalkan masa eksplorasinya, selain membangun interaksi yang positif dengan si kecil.
Bila masih mungkin, lanjutkan pembelajaran tadi dengan menyebutkan warna merah untuk apel. Meski saat ini ia belum paham benar apa dan bagaimana yang disebut "merah", ia akan menanamnya dalam memori dan suatu saat nanti menemukan hal yang sama ia lebih mudah mengingat serta mengenali kembali informasi tersebut. Jangan lupa, kemampuan kognitif antara lain ditentukan pula oleh kemampuan mengingat. Makin banyak memori dan pengalaman yang tersimpan di otaknya, makin mudah pula baginya untuk mengakses kembali jika pada saatnya tiba kelak hal-hal tersebut ia butuhkan. Saat masuk usia sekolah, misal, ia akan dengan mudah mengenali gambar dan buah apel yang ditunjukkan guru.
Selain itu, pendampingan kita pun akan memperkaya perbendaharaan kata si kecil. Bukankah penjelasan-penjelasan kita akan memudahkannya mengenal kata "apel" dan "merah", misal? Itu baru satu benda pada satu saat pengenalan. Bagaimana jika interaksi semacam itu kita lakukan secara intensif? Satu hal yang perlu diketahui, bilang Tia, anak yang didampingi/dimediasi oleh orang tua atau sosok pengganti yang sangat peduli pada anak, akan memiliki nilai lebih. Sebabnya, mereka yang mendapatkan pengetahuan dari orang lain selama proses eksplorasinya, umumnya memiliki kemampuan kognitif lebih baik dibanding anak-anak yang harus belajar sendiri. Ini sudah dibuktikan Feurstein, pakar pendidikan, pada anak-anak yang semula dicap ber-IQ rendah. Setelah diberi pelatihan dengan selalu didampingi saat bermain dan bereksplorasi, ternyata ada peningkatan nilai IQ, yang akhirnya malah cenderung lebih baik dari anak-anak yang semula mendapat predikat pintar. "Nah, ini, kan, menunjukkan baik-buruknya kemampuan kognitif anak tergantung dari cara orang tua mendidiknya."
Jadi, bila kita mendampinginya tanpa ada interaksi hangat semisal, "Gambar apelnya diwarnai, ya!" dengan ekspresi cuek atau malah cuma sibuk baca koran/nonton TV, jangan harap si kecil bakal menyimpan pengetahuan/pengalaman tersebut dalam memorinya, malah akan dibuang dan terlupakan begitu saja.
DIALOG KASIH SAYANG
Jikapun si kecil sampai memberantaki barang-barang berbahaya, Tia minta agar kita menegurnya tanpa membentak apalagi marah-marah. Soalnya, si kecil malah jadi bingung, "Kok, aku enggak boleh, sih, mainan perkakas Ayah?" atau ia malah akan mengartikan kita tak sayang lagi padanya, "Masak cuma begitu aja, aku dimarahi. Bunda udah enggak sayang aku lagi, ya?"
Lebih baik, anjur Tia, gunakan teknik dialog yang menonjolkan kasih sayang dan kehangatan. Misal, "Adek, kok, main-main perkakas Ayah? Nanti tangan Adek jadi kotor, lo. Lagi pula, Bunda takut, deh. Soalnya, perkakas ini, kan, tajam. Kalau ketusuk gimana? Sakit, kan?" Dengan begitu, ia akan paham dan tak salah mengartikan alasan kita melarangnya. Tentu penjelasannya harus terang dan benar, disertai mimik/ekspresi wajah yang menunjukkan rasa sakit atau bahaya yang ingin kita jauhkan dari si kecil.
Cara lain, bisa juga dengan mengalihkan perhatiannya ke hal-hal lain di sekitar yang menarik si kecil semisal membuatkan mobil-mobilan dari aneka balok berwarna. Libatkan ia dalam pengerjaannya supaya merasa in, "Bantuin Bunda, dong." Dengan begitu, kita mengajarkan padanya mana yang boleh ia eksplorasi dan mana yang tidak, serta batasan-batasan apa saja yang perlu diketahuinya saat bereksplorasi. Hingga akhirnya si kecil bisa menyimpulkan sendiri, "Oh, benda itu bahaya kalau aku mainin. Bisa bikin aku berdarah."
Kalaupun sesekali secara tak sengaja membentaknya, "jangan malu meminta maaf. Segera dekati dan beri alasan yang tepat kenapa kita melakukan hal seperti itu padanya," bilang Tia.
Menurut Tia, meski batita belum sepenuhnya mengerti apa yang kita sampaikan, kita tetap perlu menyampaikan pengertian semacam itu padanya dengan cara dan bahasa sesederhana mungkin. Toh, informasi tersebut akan disimpan dalam memorinya yang suatu saat kelak akan dibuka dan dimengerti sepenuhnya.
Selain itu, saran Tia pula, agar si kecil tak merasa terganggu kala bereksplorasi dan kita pun tak terpancing memarahinya, "setiap keluarga yang memiliki balita hendaknya menunda kegemaran mengoleksi keramik atau barang pecah belah atau benda apa pun yang bisa membahayakan anak." Apalagi, mustahil, kan, kita sepanjang waktu mengikuti langkah si kecil kemana pun. Atau bila memungkinkan, sediakan benda-benda yang boleh diberantakin di tempat khusus agar ia bisa melakukan eksplorasi sepuasnya.
Tentu saja kita sebagai orang tua harus bisa bersikap konsisten dengan keputusan yang telah dibuat. Jika suatu saat kita membolehkan ia ngeberantakin koran, tapi lain kali melarangnya habis-habisan, kebingungannya akan bertumpuk, "Sebenarnya boleh enggak, sih, aku begini?" Akhirnya, si kecil malah jadi pasif dan tak tahu harus berbuat apa karena ia tak punya pegangan.
TERBAWA SAMPAI BESAR
Sebetulnya, bilang Tia, "hobi" ngeberantakin bisa berhenti dengan sendirinya saat si kecil menginjak usia sekolah. Hanya saja, bila tak diarahkan dari sekarang, besar kemungkinan si kecil bakal tumbuh jadi anak yang bersikap semau gue, termasuk saat berada di rumah orang lain. "Ia merasa boleh-boleh saja memberantaki benda-benda apa pun seperti yang selama ini ia lakukan di rumah. Sepanjang itu menarik perhatiannya, ia pasti ingin tahu, tak peduli apakah benda tersebut sangat berarti atau bahkan bersifat sangat rahasia yang tak boleh orang lain tahu." Celaka, kan? Apalagi seusai ngeberantakin, ia tak membereskan atau meletakkan ke tempatnya semula. Yang lebih parah jika ia memasukkan benda-benda berbahaya ke mulut hanya karena ia tak pernah mendapat penjelasan bahwa benda itu berbahaya.
Lain cerita bila kita tak pernah lelah untuk menyampaikan penjelasan dan pengertian serta batasan-batasan yang boleh dan tidak, rasa ingin tahu si kecil selama masa eksplorasi bisa terpuaskan dan kita pun tak dirugikan. Si kecil juga akan tumbuh jadi anak yang tahu diri: ia tahu persis mana yang baik dan tidak baik buatnya, serta mana pula yang boleh dan tak boleh ia lakukan. Di samping kreatif dan inovatif serta percaya diri.
Yanti/Gazali
KOMENTAR