Hati-hati, trauma seksual semasa kecil bisa menjadi biang keladi terjadinya vaginismus. Perlu penanganan simultan secara intensif, baik fisik maupun psikis.
"Apa, sih, vaginismus?" begitu tanya banyak orang penasaran. Vaginismus, terang konsultan seks DR. Ferryal Loetan, SpRM, MMR, merupakan gangguan seksual pada wanita. Tepatnya, bagian dari frigiditas yang membuat si wanita tak mampu mendapat rangsangan seksual. Jangan salah, ia sebetulnya mau, tapi sama sekali tak bisa menerima rangsangan seksual dalam dirinya. Repot, kan?
Wanita penderita vaginismus, lanjut Ferryal, "Jangankan merasakan apa yang disebut orgasme, penetrasi atau masuknya penis ke dalam vagina pun tidak terjadi lantaran timbul spasme atau kontraksi otot-otot vagina secara berlebihan. Akibatnya, vagina sama sekali tidak bisa membuka dan menerima apa pun, termasuk penis." Padahal kontraksi otot vaginasendiri sebetulnya diperlukan untuk "mencengkeram" penis. Cengkeraman inilah yang justru memberikan kenikmatan pada pasangan suami-istri.
Pada kasus-kasus vaginismus, kontraksi vagina justru terjadi berlebihan di samping sebetulnya terjadi di luar kontrol alias tidak diinginkan oleh yang bersangkutan. "Dia ingin hubungan seksual yang ditandai dengan penetrasi, namun vaginanya sama sekali tak mau membuka akibat kontraksi yang tak terkontrol tadi."
Untunglah kasus vaginismus amat sedikit. "Mungkin hanya 1 di antara 10 kasus-kasus frigiditas yang juga hanya berkisar 10 persen dari seluruh gangguan seksual."
DIANGGAP MENJIJIKKAN
Lalu mengapa bisa terjadi demikian? "Yang paling sering,akibat trauma psikis yang terkait dengan kehidupan seksual." Misalnya, ketika kecil ia "menangkap basah" orang tuanya yang tengah bersetubuh. "Dalam pemahaman anak, si ibu yang menjerit-jerit atau mengaduh tak ubahnya seperti orang kesakitan, padahal sebetulnya si ibu tengah merasakan nikmat. Sementara dalam hati dan pola pikir si anak, yang terpatri justru hal sebaliknya. Tak heran kalau persetubuhan lantas dianggap sesuatu yang menyakitkan atau menjijikkan. Bahkan ajang penyiksaan terhadap kaum perempuan."
Sebab lain, muncul perasaan jijik saat melihat hubungan seks yang saat itu sama sekali belum dipahaminya. Semisal, "Kok, mereka jorok banget, sih! Seperti anjing tetangga depan!" Bukan tidak mungkin, lo, kejadian-kejadian yang terlihat tadi membuat si anak sedemikian jijik. Anggapan salah dan perasaan jijik itulah yang kemudian telanjur tertanam begitu kuat dalam diri anak.
Celakanya, pola pikir yang telanjur salah kaprah ini akan sulit sekali diluruskan. Soalnya, bila dianalogikan dengan perangkat komputer, kesalahan tadi merupakan error yang masuk ke "CD-Room" seseorang. Nah, kalau error ini sudah mengenai bagian ingatan di otak sekaligus perasaan/lubuk hati seseorang, pasti tidak akan hilang begitu saja. "Kalaupun bisa, pasti sangat sulit dan perlu waktu khusus yang amat panjang, selain diperlukan perjuangan yang ekstra keras dari banyak pihak. Terutama suaminya."
Akan lain ceritanya kalau si anak mengalami hal sama saat dia sudah mendekati atau bahkan mencapai masa puber. Setidaknya, ia sudah mulai mengenal/memahami hal-hal yang terkait dengan kehidupan seks. Semisal mulai tertarik pada jenis kelamin lain dan tahu pula bahwa sebagai perempuan dirinya berbeda secara seksual dengan kakak/adiknya yang laki-laki. Pemahaman/pengetahuan seperti itulah yang membantunya relatif lebih mudah mengikis trauma psikis seputar seks yang mungkin terjadi.
PENIS TERJEPIT
Menurut ragamnya, kata Ferryal, gangguan vaginismus sendiri dibedakan atas yang ringan dan berat. Ringan, jika yang bersangkutan masih bisa menerima penetrasi. Sayangnya, begitu penetrasi terjadi, vaginanya berkontraksi hebat. Akibatnya, penis terjepit (kerap disebut gancet). Sedangkan yang berat,"Boro-boro suaminya bisa penetrasi. Baru melihat suaminya telanjang saja, si wanita sudah begitu ketakutan luar biasa."
KOMENTAR