Sosialisasi dengan teman sebaya dimulai secara intens di usia prasekolah. Salah satu imbasnya adalah pertengkaran. Bagaimana menengahinya secara bijak?
Di usia prasekolah, anak-anak mulai mengembangkan sosialisasinya yang tentu saja mustahil selalu berjalan mulus. Pertengkaran merupakan hal yang lazim terjadi. Bisa saja, permainan yang seru dan menyenangkan, dalam sekejap berubah menjadi "lomba menjerit" karena anak-anak itu saling bertengkar.
Pada anak seusia ini sifat egosentris masih begitu lekat. Semua hal mesti terpusat pada dirinya. Tak heran ketika bermain bersama temannya, egosentrisnya muncul. Ketika sedang asyik main balok-balokan, contohnya, begitu dilihat balok-balokan milik temannya lebih banyak atau warnanya lebih menarik, tanpa ba-bi-bu si prasekolah akan langsung mengambil milik temannya.
Kalau si teman merasa terganggu, tak ayal lagi pertengkaran terjadi. Masing-masing bocah dengan balutan sifat egosentrisnya akan berpikir bahwa semua barang yang ada adalah miliknya seorang. Orang lain bahkan tak boleh memegang. Inilah yang kemudian menyulut pertengkaran.
Dominasi sifat egosentris inilah yang umumnya menjadi penyebab pertengkaran bocah prasekolah. Tepatnya, yang menyangkut kebersamaan dan bergiliran. Bisa dimengerti kalau kebersamaan mereka lebih sering berakhir dengan pertengkaran karena masing-masing belum memahami makna berbagi. Mereka tidak paham ketika diminta menunggu atau main bergiliran.
INTERVENSI ORANGTUA
Pertengkaran antara sesama anak tentu harus dilerai. Namun, kita tak cukup hanya bertindak sebagai juru damai. Bertindaklah juga sebagai "guru" yang memberi pemahaman dan jalan keluar dari setiap pertengkaran. Melalui intervensi orangtua diharapkan anak-anak prasekolah yang bertengkar tadi akhirnya sampai pada pemahaman mengenai kompromi, empati, toleransi dan berbagi. Tentu saja pemahaman sederhana sesuai daya tangkap mereka.
Mengapa intervensi figur orangtua sebagai penengah amat diperlukan? Tak lain karena para bocah usia prasekolah ini belum mengerti bagaimana caranya untuk membenahi masalah sendiri. Lagi pula, pada mereka belum melekat nilai salah dan benar karena semua dianggap benar. Mereka baru mengetahui apa yang salah dan benar jika ada figur-figur yang bisa menuntun mereka. Untuk memberikan pemahaman moral, inilah beberapa strategi intervensi yang dapat dilakukan:
* Beri contoh yang baik saat mengatasi perbedaan pendapat yang terjadi antara Anda dan pasangan atau dengan orang dewasa lainnya. Tanpa disadari anak-anak akan meniru sikap yang Anda perlihatkan.
* Kembangkan sikap kompromi. Permainan dalam kelompok merupakan ajang yang baik untuk mengajarkan makna kerja sama antarteman. Ajarkan anak tentang pentingnya bergiliran demi kepuasan semua pihak.
* Ajari anak untuk mengekspresikan rasa marah atau ketidaksukaan mereka melalui kata-kata. Tentu saja bukan dengan kata-kata kasar dan tidak disertai tindakan fisik seperti memukul, menendang, menggigit dan sejenisnya.
* Tumbuhsuburkan empati dalam diri anak terhadap orang lain. Kemampuan untuk memahami perasaan orang lain membuat anak prasekolah tak mudah terlibat dalam perselisihan. Sikap empati dapat dikembangkan dengan mencoba memikirkan perasaan orang lain. Contohnya, "Coba, gimana perasaanmu kalau mainanmu yang dirusak teman?"
KOMENTAR