Coba perhatikan wajah mungil si bayi saat kita melepaskannya dari gendongan lalu menaruhnya di boks. Atau ketika ia haus sementara kita masih sibuk dengan hal lain. Begitu juga selagi ia memegang mainan tertentu dan kita menganggapnya kotor lalu segera mengambilnya untuk dibersihkan. Anda segera dapat melihat ekspresi kekecewaannya. Begitu pula ketika ayah dan ibu harus pergi bekerja.
Seperti halnya rasa marah atau perasaan negatif lainnya, kekecewaan merupakan hal yang tak bisa dihindari dalam keseharian. Rasa kecewa ini muncul akibat sikap lingkungan yang tak diharapkan. Jika lingkungan cepat memberi respons untuk memenuhi kebutuhannya, maka bayi akan merasa bahagia dibanding jika berada di lingkungan yang lambat, kurang peka, atau bahkan sama sekali tidak merespons kebutuhannya. Apakah itu kebutuhan fisik yang ditandai rasa lapar, haus, dingin, kepanasan, atau kebutuhan psikis seperti ingin disayang, dibelai, dipeluk, ditimang, dan dicium.
Sebetulnya, sejak lahir bayi sudah memiliki emosi. Namun di usia 3 bulan ke atas, barulah bayi bisa menampilkan emosinya dan lingkungan bisa menangkapnya. Respons emosi pada bulan-bulan pertamanya lebih terkait dengan kondisi internalnya seperti ketidaknyamanan fisik dan rasa sakit. Usia 1-6 bulan mulai terkait dengan pemisahan diri dengan lingkungan. Bayi juga mulai tersenyum pada orang di sekitarnya, tertarik dengan stimulus baru, marah ketika terganggu, dan lainnya. Usia 6-12 bulan emosinya terkait dengan kemampuan mengingat apa yang telah terjadi dan membandingkannya dengan peristiwa yang sudah terjadi. Misal, senang ketika diberi mainan bebek karet yang mengeluarkan angin dan bunyi. Emosi di usia ini juga merefleksikan kemampuannya melatih kontrol terhadap lingkungan di sekitarnya dan frustrasi ketika tujuannya tidak tercapai.
Emosi dasar inilah yang akan dirasakannya ketika keinginannya tak tercapai.
BANTU CARIKAN SOLUSI
Jadi sebaiknya jangan sampai orangtua membiarkan kekecewaan tersebut berlarut-larut dirasakan si kecil. Lewat pengamatan, sebetulnya bisa terlihat tanda kekecewaan pada bayi. Terutama dari komunikasi awal yang paling sederhana yang dapat dilakukannya, yakni menangis. Orangtua biasanya sudah tahu dan dapat mengidentifikasikan dengan sendirinya tangisan seperti apa yang merupakan ekspresi kekecewaan si kecil. Sayangnya, tanpa disadari orangtua kerap menunjukkan sikap yang membuat bayi merasa frustrasi dan kecewa, di antaranya:
* kurang peka akan kebutuhan bayi
Orangtua lebih sering terfokus pada kebutuhan fisik bayi ketim-bang kebutuhan psikisnya. Contohnya, bila menangis, umumnya orangtua menganggap bayi hanya lapar atau haus. Padahal, sangat mungkin ia hanya ingin digendong dan dibelai. Contoh lain, orangtua langsung mengambil mainan yang tengah dimainkan bayi hanya karena mainan tersebut dianggap kotor. Padahal di saat yang sama, bayi tengah asyik memegang-megangnya. Ini menunjukkan ketidakpekaan orangtua terhadap kebutuhan bayi.
* tidak berusaha mencari solusi
Contohnya ketika si kecil marah karena mainan garpu-garpuannya yang terbuat dari plastik diambil, orangtua tidak segera menggantikannya dengan mainan sejenis, seperti sendok-sendokan. Atau ketika "memaksa" menggeletakkan bayi di boks selagi ia masih ingin terus digendong, orangtua tidak memberi mainan pengalih perhatian seperti mainan yang mengeluarkan suara-suara atau musik tertentu.
APA YANG HARUS DILAKUKAN?
Mestinya orangtua dapat lebih meningkatkan kepekaannya untuk segera memberikan respons ketika bayi mengalami kekecewaan. Ini penting agar emosi negatif pada bayi tidak terakumulasi hingga membentuk perasaan tidak aman atau tidak percaya terhadap lingkungan. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua:
* Perlu tindakan
KOMENTAR