Akibat selanjutnya, nilai yang ditanamkan pada anak laki-laki untuk kelak bertanggung jawab menghidupi keluarganya boleh jadi mengendur. Tak jarang, tuntutan akan tanggung jawab ini dibebankan sama rata, baik pada laki-laki maupun perempuan. Demikian juga tuntutan dari lingkungan. Kalau di waktu-waktu sebelumnya laki-laki yang tidak bisa menghidupi keluarga akan dilecehkan, kini tidak lagi sedahsyat itu. Muncul pikiran-pikiran manusiawi,
"Ah, kalau dibagi berdua, beban ini tak terasa lagi memberatkan." Makin lama masyarakat makin permisif. Kini kerap ditemukan laki-laki yang tak merasa terbebani meski tak mampu menghidupi keluarganya. Toh para istri semakin mandiri dan bisa dijadikan tempat "bergantung".
TIDAK SEKADAR MENCARI UANG
Situasi tersebut tentu melenakan sebagian suami. Padahal secara prinsip, suami yang tidak bekerja adalah suami yang kehilangan identitas diri. Bagaimanapun, pekerjaan melekat erat dengan identitas serta fungsi laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Istri dan anak akan kebingungan jika tidak ada pembagian identitas yang jelas di rumah.
Rentetan akibat selanjutnya, seluruh anggota keluarga akan kehilangan rasa hormat, bingung soal konsep diri, malu dan ujung-ujungnya frustrasi memiliki kepala keluarga seperti ini. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin anak akan mengulang pola serupa. Contoh yang dialaminya selama ini bersama orangtua akan diterapkannya dalam kehidupan rumah tangganya kelak.
Padahal pekerjaan bagi laki-laki tidak sekadar cara untuk menghasilkan uang sebab adakalanya laki-laki "pengangguran" ini tak dibebani masalah finansial. Taruhlah keluarganya membekali dia dengan deposito di berbagai bank dalam jumlah lebih dari cukup. Namun yang bersangkutan tak menyadari bahwa banyak hal semisal eksistensi diri, kepuasan, apresiasi dan pengakuan dari orang lain, kebanggaan keluarga dan sebagainya hanya bisa terpenuhi jika ia memiliki pekerjaan sebagai sumber nafkah keluarga.
JANGAN DISAMARATAKAN
Tak bisa dipungkiri bila fenomena ini mendorong ditetapkannya UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam perjalanannya, implementasi undang-undang ini ternyata lentur sekali. Contohnya saja, ada wanita yang menganggap suami tak bekerja sebagai bentuk kekerasan ekonomi yang perlu dilaporkan, sementara ada juga yang tidak. Beberapa pasangan bahkan melihatnya sebagai garis takdir dimana pintu rezeki istri ternyata terbuka lebih lebar ketimbang suami.
Pada prinsipnya, masalah menafkahi keluarga bukanlah soal jumlah. Melainkan lebih pada aspek kemauan, kesungguhan, dan bukti nyata. Taruhlah penghasilan suami memang jauh dari cukup, tapi bila setiap hari ia sudah berusaha keras sebisanya, agaknya masuk akal bila kondisinya dikategorikan sebagai "pintu rezeki istri dibuka lebih lebar". Bagi pasangan seperti ini, dituntut sikap dewasa dari kedua belah pihak, selain kemampuan untuk senantiasa bersyukur terhadap apa yang didapat dan selanjutnya mengelola penghasilan tersebut secara bijaksana. Dengan demikian masalah dapat dihindari karena suami tidak merasa direndahkan meski penghasilan istri jauh lebih banyak dan istri pun tidak jadi takabur karenanya.
Yang memprihatinkan sebetulnya adalah suami yang sama sekali tidak menunjukkan kesungguhannya untuk berusaha. Atau, ia hanya sesekali pernah berusaha dan gagal tapi tidak serius ingin bangkit lagi. Contoh suami seperti ini dengan mudah dilihat di lingkungan sekitar. Tidak sedikit lo suami-suami yang "kerja"-nya hanya main playstation semalam suntuk lantas pagi dan siang harinya cuma tidur, makan dan tidur lagi. Suami-suami seperti inilah yang bisa dikategorikan telah melakukan kekerasan ekonomi.
Sayangnya, penelantaran ini sering kali sudah terjadi sekian lama tanpa disadari sang istri. Selagi istri masih mampu memenuhi kebutuhan keluarga, atau kala api cinta masih membara di hati, apa yang dilakukan suami seperti itu boleh jadi "tidak terlihat". Namun ketika kondisi ekonomi keluarga sedang memburuk, atau api cinta mulai meredup, barulah istri tersadar kalau selama ini suaminya telah melakukan tindak kekerasan ekonomi.
KOMENTAR