Menurut Rostiana D. Nurdjajadi, Msi. Psi., Facebook (FB) tak ubahnya seperti beberapa situs jejaring sosial lain, misalnya Friendster, MySpace, Google Buzz, Twitter dll. Bedanya, FB memang kelihatannya lebih cocok untuk orang Indonesia. "Buktinya, pengguna FB paling banyak dari Indonesia. Kenapa diminati? Karena ada aspek-aspek yang lebih riil di dalamnya," kata Rostiana.
Terikat Virtual
Aspek rill tadi adalah data diri profil pemilik akun serta foto bisa diunggah (upload) dan diakses di FB, sehingga orang jadi percaya. Ini sangat mengena terhadap tingginya kebutuhan sosial orang Indonesia. "Budaya kita adalah kolektivitas, di mana yang dikedepankan adalah kebersamaan. Implementasinya, di FB, kita bisa mencari dan menemukan teman lama atau mantan pacar yang sudah lama tidak kontak. Dan, ini ternyata menciptakan motivasi tersendiri bagi pengguna FB," lanjut pengajar dan psikolog dari Universitas Tarumanegara, Jakarta, ini. Akibatnya, orang yang sebetulnya sudah memiliki keterikatan riil, sekarang lebih terikat kepada hal-hal yang virtual.
Kenapa orang bisa begitu terikat dengan FB, bahkan memperbaharui (update) status bisa 5 menit sekali? Pertama, karena tingginya kebutuhan orang untuk bersosialisasi. Yang kedua, orang butuh pengakuan. "Di FB, begitu update status, respon langsung datang dari teman-teman FB-nya. Di FB, orang juga bisa mengambil jarak dan memilih, mau menampilkan apa dari dirinya. Dunia maya adalah tempat di mana orang bisa menyembunyikan dirinya dan bisa tampil sesuai apa yang dia mau."
Pikir Masak-Masak
Yang menjadi masalah kemudian adalah jika pasangan ketagihan, bahkan sepertinya tak bisa lepas dari FB. FB akan berakibat buruk ketika orang lupa akan dunia nyata. Ini bisa terjadi karena banyak sebab. Salah satunya adalah di dunia maya, orang tidak punya jarak, sehingga bisa mengontrol semuanya.
"Sementara di dunia nyata, intervensinya langsung. Rasa sakit ketika sedang konflik dengan pasangan, misalnya, bisa sangat terasa. Sementara di dunia virtual, orang mampu mengontrol. Mau merespon positif atau negatif, dialah yang menentukan," lanjut Rostiana.
FB menjadi negatif jika orang merasa kebutuhannya lebih terpenuhi di dunia maya. Dalam konteks hubungan suami-istri, menjadi negatif ketika pasangan terikat dengan dunia maya. Dampaknya jelas, komunikasi terhambat. Kalau komunikasi sudah terhambat, maka buntutnya bisa banyak. Pertama-tama muncul perasaan curiga, kemudian cemburu, lalu muncul perilaku agresif.
FB juga menjadi negatif ketika dijadikan semacam ketergantungan imajiner dan dipercaya penuh bahwa itulah jaringan sosial kita. "Padahal, ketika ada masalah di rumah, yang tahu duluan adalah tetangga kiri-kanan, bukan teman di FB. Kalau hal-hal yang riil ini dilupakan, maka pola berpikir kita bisa menjadi imajiner seterusnya. Respon langsung dilupakan. Contoh nyata, cerai lewat SMS. Bisa-bisa sebentar lagi cerai di FB. Ini artinya, orang tak lagi berani menghadapi kenyataan. Yang kedua pengin show off (pamer) dan semua orang boleh tahu. Pola hubungan yang sangat pribadi masuk ke wilayah publik."
Ya, FB adalah ruang publik. Wall (dinding di FB untuk menyampaikan pesan) bukan hanya milik kita, tapi bisa dilihat semua orang. Misalnya, upload foto masa lalu yang bisa menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan. "Tanyakan pada diri sendiri, apakah foto-foto itu pantas diekspos di FB. Sadarkah bahwa itu bisa berdampak terhadap pasangan, selain juga berdampak sosial? Apapun yang mau kita tulis, harus dipikirkan matang-matang lebih dulu. Siap nggak kita mendapat reaksi dari pasangan? Jadi, harus menghitung perasaan pasangan juga."
Tentu, tak perlu sampai mengintip password (kata sandi) akun FB pasangan. "Kecuali mereka sepakat. Tapi, harusnya sih enggak perlu. Bukan password-nya yang penting, kok, melainkan seberapa jauh masing-masing mampu mengendalikan diri supaya tidak sampai ketagihan dan melupakan pasangannya. Harusnya mereka berpegang pada realita," lanjutnya.
KOMENTAR