Sebetulnya, anak usia prasekolah masih jarang yang diberi uang langsung oleh orangtuanya. Kalaupun ada, untuk membelanjakan uangnya sering kali anak minta diantar pengasuhnya ke warung atau toko dekat rumah atau belanja di tukang mainan yang lewat depan rumah. Kalaupun anak tidak memegang uang sendiri, "doyan belanja" di sini bisa berarti si anak meminta pada orangtua atau pengasuh yang dititipi uang oleh orangtuanya. Tinggal kemudian si anak memintanya pada orangtua atau si pengasuh untuk membeli barang yang disukainya.
PERAN LINGKUNGAN CUKUP KUAT
Bagaimanapun, perilaku "doyan belanja" pada si prasekolah, tidak terbentuk dengan sendirinya. Pastilah ada pencetusnya, antara lain modeling dari orangtua. Anak melihat perilaku orangtuanya yang suka belanja atau selalu membeli barang-barang kesukaannya.
Selain itu, anak juga mendapat pengaruh dari lingkungannya. Misal, orangtua yang memang royal memberikan apa yang si anak mau, teman di sekolah yang mendorong si anak untuk memiliki barang-barang yang disukainya agar ia mendapat pengakuan dari peer group-nya, dan lainnya. Jadi dorongan si anak untuk belanja lebih dipengaruhi oleh faktor di luar dirinya.
Perilaku suka belanja ini tak masalah selama tidak berlebihan dan masih dalam batas wajar. Apalagi jika orangtua juga punya maksud dan tujuan tertentu, seperti mengajari anak untuk berinteraksi dalam aktivitas jual beli, mengenalkan nilai uang, dan mengajarkan tentang prioritas barang yang akan dibeli. Belanja juga masih positif jika tujuannya memberi reward kepada anak atas keberhasilannya memenuhi apa yang diharapkan orangtua. Jadi, anak tahu bahwa apa yang dimintanya tidak selalu dapat segera terlaksana, perlu ada usaha untuk mendapatkannya.
JADI KONSUMTIF & SELALU MEMINTA
Lain halnya kalau perilaku suka belanja ini sudah berlebihan, tentu tak boleh dibiarkan. Begitu pun bila orangtua menyikapi permintaan anak dengan royal dan selalu meluluskan keinginannya. Sikap konsumtif akan tumbuh dari pola asuh seperti ini. Anak tak bisa memprioritaskan mana kebutuhan yang lebih penting untuk dibeli. Anak sekadar belanja apa yang menjadi kesukaannya. Tak hanya itu. Anak pun tidak belajar merasakan bahwa untuk mendapatkan sesuatu harus berjuang dulu, karena keinginannya selalu dipenuhi orangtua.
Khawatirnya, jika perilaku konsumtif ini berlanjut sampai dewasa, akan jadi problem bila di suatu hari nanti dia punya keinginan yang tak dapat terpenuhi karena adanya keterbatasan. Selain itu, perilaku suka belanja barang ini tak hanya akan menumbuhkan perilaku konsumtif, tapi juga perilaku "meminta" pada lingkungan. Soalnya, ia terbiasa memperoleh sesuatu dengan mudah, sehingga untuk seterusnya ia akan menuntut hal sama dari orang lain. Ketika ia menginginkan suatu barang dari temannya, maka ia mengharuskan si teman untuk memberikan apa yang diinginkannya. Jika tidak diberi, ia akan marah atau bersikap agresif.
Karena itulah, sebaiknya orangtua membatasi perilaku suka belanja ini sedini mungkin sebelum melekat semakin kuat pada diri anak. Apalagi saat usia sekolah nanti, tekanan dari lingkungan cukup kuat. Jika dibiarkan saja, akan semakin sulit bagi orangtua untuk mengubah perilaku anak.
APA YANG HARUS DILAKUKAN?
* Bersikap Tegas
Sebenarnya, ketegasan orangtua diperlukan sejak awal sebelum terbentuk kebiasaan suka belanja dan suka meminta. Misal, "Adek, kan, sudah punya beberapa pasang jepit rambut. Jadi, Mama enggak mau belikan lagi, kecuali kalau ada yang rusak atau hilang."
* Konsisten
Jangan meluluskan permintaan anak berdasarkan mood Anda. Kalau mood sedang baik, anak dibelikan dan kalau mood sedang jelek, tidak dibelikan. Orangtua harus konsisten. Contoh, "Mama sudah belikan robot-robotan itu minggu lalu. Minggu ini tidak beli mainan itu lagi, ya. Sampai nanti kalau kamu ulang tahun."
Ayah dan ibu juga harus punya kesepakatan yang sama. Jangan sampai ibu tak mengabulkan, sementara ayah mengabulkan keinginannya. Anak akan melihat celah mana yang bisa ia masuki untuk meminta.
Hendaknya orangtua juga jangan goyah hanya karena si anak tantrum. Bisa-bisa anak akan menjadikan tantrum sebagai alat untuk mendapatkan sesuatu. Bila anak tantrum, biarkan saja. Hanya perlu diperhatikan lingkungan sekitarnya, jangan sampai ada yang bisa membahayakan dan mencelakakan dirinya.
Selain itu, orangtua harus pula menjadi contoh. Jangan sampai melarang anak belanja barang kesukaan, tetapi orangtua sendiri tidak dapat mengendalikan keinginan belanja barang kesukaannya. Ingat lo, anak juga kritis. Bisa saja ia bilang, "Kok aku enggak boleh beli mobil-mobilan, tapi Mama kok beli baju lagi?"
* Berikan penjelasan
Berikan penjelasan dengan bahasa yang mudah dimengerti anak. Umpama, "Kenapa harus beli robot-robotan lagi? Bukankah robot-robotan Adek ada di kotak mainan? Jadi, sepertinya kita enggak perlu beli lagi. Kecuali robot-robotannya sudah rusak atau hilang, baru Mama belikan lagi."
Begitu pun bila orangtua hendak mengajak anak misalnya ke mal. Orangtua sudah memberitahukan sebelumnya untuk tidak membeli sesuatu, "Hari ini kita mau jalan keluar. Kalaupun nanti belanja, kita hanya beli susu dan makanan keperluan di rumah saja. Tidak beli yang lainnya."
Jika nanti si anak merengek minta dibelikan, tetap beri penjelasan dan alasannya kenapa permintaannya tak akan dituruti, "Meski Adek menangis, Mama tidak mau belikan. Soalnya mainan mobil yang seperti itu Adek sudah punya. Nanti ya Mama belikan kalau Adek ulang tahun, tidak hari ini." Biasanya, anak yang sudah diberi tahu sebelumnya jarang yang berakhir dengan tantrum.
* Perkenalkan pada prioritas
Anak juga perlu tahu ada keperluan/kebutuhan lain yang harus dipenuhi, tidak melulu kesukaannya yang dibeli. Di sini anak bisa diajarkan untuk memilih prioritas mana yang lebih utama dibanding keperluan barang lain yang kurang penting. Misal, "Coba deh, daripada Adek beli mainan seperti itu lagi, lebih baik beli barang lainnya. Lihat, sepatu Adek yang sudah rusak itu kan, perlu diganti. Kalau sepatu, Mama mau membelikan."
* Tanamkan rasa kepedulian dan empati
Perhatian anak untuk membeli barang-barang yang disukainya bisa dialihkan dengan menanamkan kepekaan sosial dan menunjukkan empati anak. Contoh, "Adek kan tidak harus beli-beli barang seperti itu terus. Coba lihat deh, anak-anak yang enggak punya itu. Mereka tidak punya uang untuk beli mainan. Kasihan kan? Jadi, lebih baik kalau Adek menabung, mau memberikan sedikit uang atau barang-barang Adek yang sudah tidak dipakai dan bisa digunakan untuk mereka juga boleh."
* Kenalkan konsep mahal dan murah
Umpama, "Ayah tidak mau membelikan mobilan-mobilan itu, karena harganya terlalu mahal. Ayah tidak punya uang banyak." Mungkin awalnya, anak akan bertanya, "Mahal itu apa sih, Yah?" Tentu orangtua harus menjelaskannya secara konkret. Karena sekadar mengatakan mahal dan murah secara abstrak agak sulit bagi si prasekolah untuk menerimanya. Sebutkan nominal uangnya untuk mengatakan sebuah barang harganya mahal atau murah. Tentu batasan mahal dan murah ini bersifat individual, tak akan sama pada setiap orang. Mungkin ada yang menetapkan harga Rp20 ribu sudah mahal dan ada juga yang sebaliknya.
Dedeh
KOMENTAR