Itu sebab, Deisi menekankan agar orang tua menerapkan pola asuh yang demokratis, baik kepada si sulung, si tengah, maupun si bungsu. Hingga, semua anak mendapat kesempatan sama untuk mengeluarkan pendapatnya dan juga mendapat porsi sama untuk didengarkan. Jadi, jangan mentang-mentang ia anak bungsu lantas pendapatnya diremehkan, lo.
Sikap sama rata ini selayaknya diterapkan sejak kecil. Misal, dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, si bungsu juga diberi tugas yang sama dengan kakak-kakaknya. "Bila kakaknya punya tugas membersihkan kamar, maka adiknya juga harus diberi tanggung jawab yang sama. Kecuali kalau ia masih terlalu kecil. Untuk balita, biasanya tanggung jawabnya lebih ke arah mampu mengurus diri sendiri. Misal, harus pakai baju sendiri, pilih baju sendiri, bukan kakak-kakaknya yang memakaikan. Jika belum bisa, bimbing untuk memakai bajunya sendiri. Pilihkan antara dua atau tiga baju. Dengan begitu, anak pun belajar mandiri."
USAHA KUAT DARI ORANG TUA
Untuk si bungsu yang bayi, tentunya belum tahu kalau dirinya anak bungsu, hingga kemanjaannya sebagai anak bungsu belum tampak padanya. Kemanjaan yang ada adalah kemanjaan umum setiap bayi, yaitu ingin diladeni, yang diungkapkan oleh tangisan. Seperti diketahui, tangisan merupakan salah satu cara bayi untuk berkomunikasi kepada orang tua atau orang lain. Lewat tangisan, ia menyampaikan pesan bahwa dirinya haus, lapar, mengompol, atau sakit, dan lainnya. Barulah di usia batita atau prasekolah, kemanjaan sebagai anak bungsu akan tampak. Merasa dirinya bungsu, ia ingin mendapatkan perlakuan yang spesial. Misal, ia tak mau makan jika tak disuapi ibunya. Sementara kakak-kakaknya pun akan merasa maklum adiknya masih disuapi, karena ia bungsu.
Nah, mumpung masih bayi, agar kelak ia tak manja, kita harus menerapkan pola asuh berupa disiplin positif bagi si bungsu. Maksudnya, suatu keteraturan dan konsistensi. Misal, mengajarkan rutinitas seperti jam tidur, jam makan, dan jam minum susu hingga menjadi suatu pola. Tapi ingat, penerapannya harus konsisten, jangan berubah-ubah. "Bila konsistensi tak dijaga, kelak anak tak mengerti peraturan dan akan berlaku seenaknya," ungkap Deisi. Bukan berarti kita harus keras, lo, melainkan tegas: kalau boleh, ya, boleh, tapi kalau enggak boleh, ya, enggak boleh.
Jadi, kita harus menguatkan hati, ya, Bu-Pak. Jangan gara-gara tak tega melihat rengekannya lantas kita pun tak konsisten dengan aturan yang ada. Perasaan tak tega hanya akan menghambat kelangsungan disiplin. "Harus ada usaha kuat dari orang tua untuk melawan perasaan tak tega ini kalau memang tak ingin anaknya manja."
Begitupun bila si bungsu tak mau mengikuti aturan, "ia harus mendapat sanksi. Memang untuk bayi belum bisa diberikan punishment, tapi tetap orang tua harus memberikan pengarahan atau 'teguran' padanya." Misal, ia suka mengisap jempol, kita bisa "menegur"nya dengan mengatakan, "Kan, Bunda sudah bilang, jangan mengisap jempol. Lepasin jempolnya, ya, Sayang.'" Bila ia melakukannya, jangan lupa memberinya reward, bisa berupa pujian, "Nah, kan, begitu bagus."
Tak kalah penting, kita pun harus tetap ingat agar tak meluluskan begitu saja semua permintaan si bungsu. "Ia harus diberi pengertian. Misal, bila ia selalu menangis jika ditinggal pergi bekerja, beri pengertian padanya bahwa ayah dan bunda harus pergi, tapi nanti akan kembali lagi dan bertemu di sore harinya."
DIAJARKAN MANDIRI
Tentunya, si bungsu pun harus diberikan kesempatan untuk belajar mandiri. Bukankah kemandirian amat penting? Untuk itu, kita tak boleh banyak melarang. Jangan hanya gara-gara takut ia terjatuh kala bereksplorasi dengan merangkak dan berjalan, misal, kita lantas melarangnya. "Kecenderungan orang tua, kan, begitu. Sedikit-sedikit khawatir, lalu mengambil praktisnya saja, anak digendong terus-menerus. Lama-lama si anak jadi malas belajar merangkak dan berjalan. Akhirnya, teman-teman seusianya sudah mampu berjalan, ia masih butuh waktu lama untuk bisa berjalan."
Lagi pula, bila kita terlalu cemas, bayi bisa terpengaruh hingga ia pun tak berani berbuat apa-apa. Kalau sudah begitu, tumbuh kembangnya bisa tak optimal, ia jadi tak mampu mandiri. Itu sebab, anjur Desi, "biarkan saja anak melewati tahap-tahap perkembangan sesuai usianya." Bukan berarti kita boleh melarang si bungsu, lo. Bagaimanapun, yang namanya anak, tak peduli si sulung, si tengah, atau si bungsu, tetap harus diberi larangan dan batasan-batasan, terutama pada hal-hal yang bisa membahayakan dirinya semisal memasukkan sesuatu yang berbahaya ke mulutnya. Dengan demikian, ia jadi tahu mana yang berbahaya dan tidak, mana yang boleh dan tidak.
Nah, Bu-Pak, kini kita jadi makin paham, ya, mengapa si bungsu cenderung manja dan bagaimana seharusnya kita memperlakukan si bungsu agar ia pun tumbuh dan berkembang optimal.
Erni /nakita
KOMENTAR