Rasa dan rupa makanan, dengan kata lain, harus menjadi perhatian penting. "Kalau ditaruh di piring dengan bagus, kan, anak jadi tertarik dan bangkit seleranya. Kita sendiri, kalau lihat makanan dicampur aduk, malas, bukan?"
Ia juga menuturkan pengalamannya bersiasat dengan sang anak yang "anti" sayur. Karena sayur penting, "Saya blender lalu dibuat agar-agar dan dicetak aneka bentuk yang lucu dan menarik. Ternyata anak saya suka tanpa tahu agar-agar itu dari sayur."
Kreatif, itu sebetulnya yang ingin disampaikan Astrid pada para orang tua. Selain itu, penyajian makanan pun harus variatif alias berganti-ganti agar tak membosankan. "Kalau anak menolak makanan yang belum dikenal, bukan berarti ia tak doyan. Itu karena dia belum pernah mencoba." Sebab itulah, lanjut Astrid, orang tua perlu mengenalkan aneka macam makanan sehat.
Jangan lupa, tunjukkan bahwa kita juga berminat pada makanan itu. "Kalau anak melihat kita memakannya dengan lahap, ia jadi berani mencoba, meniru kita." Ini sekaligus menjadi cara untuk tidak memaksa anak. "Karena ketika dia mencoba, itu atas dasar keinginannya sendiri."
Kalau contoh yang kita berikan belum juga diikutinya, jangan putus asa. Dan sekali lagi, jangan memaksa. "Perlihatkan terus padanya, betapa kita suka pada sayur, misalnya. Lama-lama anak akan tertarik juga, kok. Bikin strategi seolah-seolah bukan ia yang akan makan, tapi kita yang berselera."
Memperkenalkan makanan baru pada anak, bisa juga dilakukan lewat mengajaknya makan di restoran. Selain baik pula untuk sosialisasinya, di sini anak belajar makan yang "sesungguhnya" karena ia bisa melihat cara orang lain makan. Saat ia berperilaku tak baik di situ dan dilirik dengan pandangan tak senang oleh pengunjung restoran, "Ia jadi sadar, itu merupakan teguran baginya."
Pilih restoran yang menyajikan makanan bergizi. "Fast food boleh-boleh saja, tapi jangan terlalu sering. Cukup sekali dalam sebulan."
CARI PERHATIAN
Faktor lain yang membuat anak susah makan, adalah ingin menarik perhatian orang tuanya. "Kalau dia emoh makan, orang tuanya jadi 'heboh', kan. Dia jadi diperhatikan dan sebetulnya itulah yang ia perlukan."
Karena itu, pesan Astrid, dampingi anak saat ia makan. Keterkaitan emosi, menjadi lebih kuat dan anak bisa mendapat pengetahuan baru. "Misalnya, saat makan, ibu menjelaskan nama makanan, mengandung vitamin apa, terbuat dari apa, dan sebagainya."
Orang tua juga harus memahami dan menghargai keterbatasan anak. "Jangan pernah menganggap anak sebagai pengganggu. Nikmatilah keberadaan anak sebagai anugerah." Menghargai keberadaannya berarti tak boleh memaksanya maupun memintanya makan banyak atau makan cepat. "Enggak mungkinlah anak usia batita bisa makan cepat, banyak, atau duduk diam selama makan. Di usia ini, konsentrasi mereka mudah terpecah." Jadi, bila ia mau jalan-jalan selama jam makan, biarkan saja. "Nanti, toh, ia kembali lagi. Yang penting, kesabaran."
Tapi tegurlah anak jika ia bermain-main dengan makanannya. Ia harus tahu, tindakannya salah. "Tak perlu marah. Cukup beri tahu." Katakan, misalnya, "Jangan dibuat main, dong. Kan, sayang dan kasihan pada bibi yang sudah capek-capek masak." Jangan berharap ia langsung patuh karena lain kali ia akan mengulangi hal itu. "Nah, kita juga jangan bosan menegurnya.
Tanamkan terus disiplin dengan memperhatikan keterbatasan-keterbatasan anak," tukas lulusan Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran Bandung ini.
Mengharapnya makan dengan baik dan benar, juga tak realistis. Misalnya, ia harus minum tanpa tumpah. "Pegang gelas, saja, belum sempurna. Beri ia sedotan untuk memudahkannya. Pelan-pelan, ajarkan cara memegang gelas. Yakinlah, lama-lama, akan tumbuh rasa percaya dirinya sehingga ia berani mencoba memegang gelas." Tidak sesulit yang kita bayangkan, bukan?
Indah
KOMENTAR